Senin, 28 Juli 2008

Kontroversi Pembatasan Sepeda Motor

Opini

Kontroversi Pembatasan Jalur Sepeda Motor

Tulus Abadi
· ANGGOTA PENGURUS HARIAN YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA

Para pengguna sepeda motor di DKI Jakarta tampaknya akan terus mengalami proses peminggiran. Setelah peraturan (paksa) menggunakan jalur kiri dan menyalakan lampu depan pada siang hari, kini pengguna sepeda motor (akan) dilarang melenggang di jalan protokol, seperti Jalan Sudirman, Thamrin, Gatot Soebroto, dan Rasuna Said. Tidak kurang dari 8,5 juta unit sepeda motor berseliweran di Jakarta. "Jakarta sudah penuh sesak oleh sepeda motor," kata Sutiyoso.

Para pengguna sepeda motor tentu saja keberatan (marah) dengan kebijakan ini. Apa yang salah dengan pengguna sepeda motor, toh sama-sama penyumbang pajak ke Pemerintah Provinsi DKI? Dari sisi manajemen transportasi dan kondisi empiris lalu lintas di DKI Jakarta, tidak terlalu sulit untuk mematahkan ide kebijakan Sutiyoso dan keberatan pengguna sepeda motor itu sendiri. Argumentasi kedua belah pihak mempunyai kelemahan mendasar.

Pertama, kalau alasannya sepeda motor berkontribusi terhadap kemacetan lalu lintas dan melanggar hak-hak pejalan kaki, apakah kemudian perilaku pengguna mobil pribadi tidak demikian? Bukankah justru mobil--yang lebih banyak menggunakan space--lebih dominan berkontribusi terhadap kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta.

Penghormatan yang rendah terhadap pejalan kaki juga bukan hanya monopoli pemakai sepeda motor. Pengguna kendaraan roda empat pun tak menghormati pejalan kaki. Sebagai contoh, jika kita ingin menyeberang jalan, sekalipun sudah di atas zebra cross, belum tentu pengguna mobil berhenti sejenak memberikan kesempatan pejalan kaki menyeberang jalan. Dalam etika berlalu lintas, seharusnya pengemudi kendaraan bermotor berhenti dulu, mempersilakan penyeberang jalan lewat.

Kedua, maraknya pemakaian sepeda motor ini lebih mencerminkan kegagalan pemerintah dalam mengelola sistem transportasi kota. Angkutan umum (metromini, kopaja, bus swasta, atau bus Transjakarta sekalipun) yang ada, terbukti tidak mampu memberikan jawaban terhadap kebutuhan mobilitas warga Jakarta. Warga Jakarta membutuhkan sarana dan akses angkutan umum yang aman, nyaman, selamat, dan harganya terjangkau. Bukan malah sebaliknya, tidak nyaman, tidak aman, serta akumulasi tarifnya mahal.

Ketiga, pembatasan penggunaan sepeda motor mencerminkan pemerintah tidak berpihak kepada orang kebanyakan (miskin). Bagaimanapun, kebanyakan pengguna sepeda motor adalah pegawai rendahan, dengan gaji kecil. Sepeda motor merupakan satu-satunya akses termurah untuk mobilitas mereka. Kalau mereka dilarang melewati jalan-jalan tersebut, sudah pasti mereka harus merogoh kocek tambahan. Bisa jadi hal ini merupakan proses pemiskinan.
Keempat, secara teknis (ini untuk para pengguna sepeda motor), sepeda motor memang bukan sarana transportasi yang ideal. Sebab, di satu sisi, sepeda motor digerakkan oleh tenaga mesin, sedangkan di sisi lain, badan pengemudi sepeda motor tidak dilindungi oleh kabin kendaraan/rumah-rumah sebagaimana kendaraan roda empat. Maka, jika terjadi kecelakaan, umumnya pengguna sepeda motor lebih banyak yang meninggal/terluka parah dibanding pengguna mobil.

Menurut data resmi PT Jasa Raharja pada 2005, kematian di sektor lalu lintas darat mencapai 39 ribu orang, 19 ribu orang di antaranya kecelakaan sepeda motor. Ironisnya, masyarakat saat ini justru merasa lebih aman-nyaman menggunakan sepeda motor daripada mobil, sekalipun untuk mudik dengan jarak tempuh yang sangat jauh. By design, sebenarnya sepeda motor hanya layak digunakan untuk jarak pendek.

Berdasarkan konfigurasi permasalahan di atas, manuver Sutiyoso membatasi penggunaan sepeda motor tidak akan efektif, karena hanya bersumber pada panic policy dan instant policy. Tidak salah jika kebijakan ini diklaim diskriminatif dan mereduksi hak-hak warga. Jika ingin adil, pengguna kendaraan roda empat pun harus dibatasi pula karena, dari sisi jumlah, pun sudah begitu banyak. Kalau sepeda motor tidak boleh melewati jalan-jalan protokol, pengguna roda empat pun bukan tidak mungkin diperlakukan hal yang sama, misalnya pada hari-hari tertentu.
Di luar negeri, pada hari libur, ada program yang bernama car free day (hari bebas mobil). Pada hari itu, jalan-jalan dibebaskan dari lalu-lalang kendaraan bermotor dan hanya boleh dilewati oleh pejalan kaki serta pengguna sepeda. Contohnya di Bogota, Kolombia, Amerika Latin. Jutaan pengguna sepeda pada Minggu tumplek-blek memenuhi ruas-ruas jalan protokol, tanpa khawatir disambar mobil dan/atau ditelikung pengguna sepeda motor.

Selain itu, pemerintah DKI Jakarta (dan pemerintah pusat) harus masuk pada kebijakan pre market, yaitu mengatur ulang model penjualan sepeda motor. Saat ini penjualan sepeda motor sudah sangat "liar", bahkan sudah merugikan konsumen. Calon konsumen sepeda motor dijebak oleh pihak dealer/leasing dengan pola penjualan yang "memanjakan" (baca: menjebak, menelikung) konsumen. Bidang Pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mencatat, saat ini pengaduan masalah kredit sepeda motor merupakan pengaduan tertinggi. Artinya, ada yang salah dalam pola penjualan sepeda motor kepada masyarakat konsumen.

Jadi pemerintah DKI Jakarta (bahkan pemerintah pusat) sebaiknya tidak melihat persoalan sepeda motor secara parsial. Tidak ada jalan lain, selain harus mengoptimalkan akses sarana transportasi publik yang aman, nyaman, dan selamat, dengan tarif terjangkau. Survei membuktikan, jika tersedia akses sarana transportasi publik yang memenuhi standar tadi, fenomena menyemutnya sepeda motor dan kendaraan roda empat akan terkikis dengan sendirinya.

Sumber : Koran Tempo (pernah dimuat di koran Tempo)

Surat Terbuka untuk Foke

Surat Terbuka untuk Gubernur Foke

Koran Tempo, Sabtu, 20 Oktober 2007

Eric Penalosa, mantan Wali Kota Bogota, Kolombia, dalam sebuah seminar di Jakarta, melontarkan kritik keras soal kondisi Kota Jakarta. Menurut dia, Jakarta tak ubahnya sebuah kota yang sakit. Kondisi itu bukan karena Jakarta sedang dilanda wabah demam berdarah atau flu burung, melainkan karena Jakarta terlalu banyak dipenuhi mal dan pusat belanja. Sebaliknya, di Jakarta sangat minim tempat yang bisa dijadikan publik untuk berkumpul secara bebas (public space).

Fakta ini sungguh paradoks, karena bagi mantan gubernur Sutiyoso, banyaknya mal dan pusat belanja justru diklaim sebagai sebuah prestasi yang membanggakan dalam membangun Jakarta sebagai kota supermodern. Target Sutiyoso, Jakarta harus memiliki 200 mal dan pusat belanja, sebagaimana di negeri jiran, Singapura.Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan Sutiyoso yang berkiblat ke Singapura untuk urusan mal dan pusat belanja. Tapi seharusnya Sutiyoso tidak hanya mengadopsi sisi komersial dari negeri kecil itu. Sebab, selain marak mal dan pusat belanja, Singapura mengembangkan public space secara proporsional. Ini yang tidak diadopsi oleh Sutiyoso.Relevan dengan situasi tersebut, Fauzi Bowo (Foke), yang baru saja dilantik menjadi orang nomor wahid di Jakarta, menetapkan menyembuhkan penyakit kronis Kota Jakarta sebagai agenda utama.

Pasalnya, senapas dengan Eric Penalosa, yang sukses menjadikan Bogota sebagai kota manusiawi (human city) berkat kepemimpinan politik (political leadership) yang kuat, yaitu setelah mengantongi kemenangan 60 persen suara via pemilihan umum langsung. Dengan modal politik inilah Penalosa mendapat kepercayaan dan dukungan publik untuk membongkar ulang tata kotanya. Analog dengan Penalosa, kini modal politik itu juga dimiliki oleh Fauzi Bowo, setelah meraup suara 57,78 persen suara dalam pemilihan kepala daerah yang lalu. Artinya, sebagaimana Penalosa, Foke juga mengantongi kepercayaan publik yang cukup kuat untuk "mendaur ulang" pola manajemen tata Kota Jakarta. Foke tidak perlu gamang menganulir rencana kebijakan Sutiyoso yang tidak sejalan dengan aspirasi publik dan tata pengelolaan kota yang berkelanjutan.Isu ini harus digelorakan karena, jika hanya mengacu pada janji Foke dalam masa kampanye yang lalu, sepertinya tidak akan ada gebrakan radikal ala Penalosa. Via iklan politik "Solusi Fauzi Bowo untuk Jakarta" (Kompas, Sabtu, 4 Agustus), Foke hanya berfokus pada tiga kasus utama. Pertama, untuk mengatasi banjir, dia akan mempercepat penyelesaian Kanal Banjir Timur serta normalisasi Kanal Banjir Barat dan kali-kali yang melintasi Jakarta. Kedua, untuk mengatasi kemacetan, dia akan mempercepat ketersediaan transportasi massal dengan kapasitas yang besar dan kualitas yang prima, antara lain busway dan subway yang mampu mengangkut 60 ribu penumpang per jam.

Dan ketiga, dalam hal pendidikan, dia akan menyiapkan program prioritas untuk penuntasan wajib belajar 12 tahun, peningkatan mutu lulusan sekolah dasar/sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas/sekolah menengah kejuruan (standar internasional) serta meningkatkan kompetensi guru (standar Asia).Jika hanya mendasarkan pada tiga program itu--sebagaimana yang tertuang dalam iklan politik, hakulyakin Foke tidak akan dikenang publik sebagai gubernur yang "menyejarah". Sekalipun busway, monorel, subway, serta percepatan pembangunan Kanal Banjir Barat/Timur sukses, warga Jakarta akan mencatat bahwa itu "karya" Sutiyoso.Banjir dan kemacetan lalu lintas jelas merupakan "megakasus" yang harus mendapatkan prioritas tertinggi untuk segera dibereskan. Persoalannya, penyakit kronis Kota Jakarta bukan hanya itu: bukan hanya banjir dan macet an sich! Masih ada sederet penyakit kronis lain--yang secara sosio-kultural akan menjadi bom waktu yang tidak kalah mengerikan ketimbang "megabanjir" dan "megamacet".

Sebagaimana Jakarta menyontek bus rapid transit ala Transmilenio Bogota, seharusnya Fauzi Bowo juga mengadopsi gerakan radikal ala Penalosa.Apa sajakah gerakan radikal Penalosa dalam memanusiawikan Kota Bogota yang semula terkenal barbar? Salah satunya membangun tempat-tempat publik secara meluas. Di Bogota, taman-taman kota terbentang begitu luas. Dengan taman kota itu, warga kota dapat secara leluasa bercengkerama dengan keluarga dan kerabat, berolahraga, serta aktivitas lainnya. Karena itu, tidak ada jalan bagi Fauzi Bowo untuk menganulir "nafsu" Sutiyoso agar Jakarta memiliki 200 mal dan pusat belanja. Caranya?Pertama, Fauzi Bowo harus berani me-replace dengan memperbanyak pembangunan tempat publik yang nir-komersialisme, seperti tempat bermain, taman kota, dan lapangan untuk berolahraga. Minimnya tempat-tempat publik di Jakarta mengakibatkan warga Jakarta tidak kreatif, bahkan destruktif. Tingginya angka kriminalitas di Jakarta bukan hanya dipicu oleh faktor ekonomi dan kemelaratan, melainkan lebih karena tata ruang kota yang tidak familiar bagi warga Jakarta.

Terbukti, ketika Penalosa menata ulang kotanya, angka kriminalitas di Bogota turun secara dramatis, 60 persen!Saat ini jumlah mal dan pusat belanja di Jakarta yang sudah oversupply bukan hanya berdampak terhadap persaingan yang tidak sehat antarmal, melainkan juga menjadi "mesin pembunuh" bagi eksistensi pasar tradisional dan usaha mikro lainnya. Lebih dari itu, maraknya mal dan pusat belanja juga memicu perilaku konsumtivisme warga Jakarta. Dalam konteks agama (Islam), menjadikan mal dan pusat belanja sebagai center of activity sejatinya merupakan perbuatan yang tidak dianjurkan, bahkan harus dihindari. Rasulullah SAW menegaskan bahwa pasar (baca: mal dan pusat belanja) merupakan pusat segala kemaksiatan, karena di pasarlah terjadi aksi tipu-menipu dan penindasan manusia atas manusia (exploitation de l'home par l'home).Kedua, mengembalikan fungsi tempat-tempat publik yang sudah ada, tapi direduksi untuk kepentingan komersial dan kepentingan lain yang menyimpang. Contohnya, jalan raya dan trotoar. Kedua wahana untuk aktivitas publik ini kini berubah menjadi "pasar".

Menjadikan jalan raya dan trotoar untuk kepentingan komersial, apa pun alasannya, merupakan pengambilalihan hak-hak publik secara nyata. Apalagi luas ruas jalan di Jakarta masih sangat minim, hanya berkisar 8 persen dari total luas wilayah. Bandingkan dengan Singapura, yang luas ruas jalannya mencapai 15 persen dari total luas wilayah.Ketiga, mengembalikan area ruang terbuka hijau (RTH) yang kini telah disulap menjadi sarana komersial. RTH Jakarta yang kini tinggal 9,7 persen harus dinormalisasi menjadi minimal 27 persen dari total luas wilayah Jakarta. Luas area RTH yang memadai, selain akan menjadi sumber resapan air tanah, akan menjadi "tempat bermain" warga kota, tanpa harus dijejali dengan kepentingan komersial. Tempat-tempat komersial, yang secara telanjang melanggar prinsip-prinsip RTH, harus dihijaukan kembali.Pada akhirnya, Fauzi Bowo tidak akan mampu menyembuhkan penyakit Kota Jakarta jika hanya berkutat pada persoalan banjir, kemacetan, dan pendidikan.

Keberadaan tempat-tempat publik yang proporsional, dari dimensi apa pun--budaya, sosial, psikologi, bahkan agama--merupakan suatu keharusan. Rujuklah tesis cendekiawan muslim kawakan Ibnu Khaldun dalam bukunya, Mukaddimah, bahwa salah satu ciri kota beradab adalah adanya tempat yang luas untuk berkumpul warganya. Ayo, Bang Foke, jangan gadaikan Jakarta hanya untuk kepentingan materialisme. Lakukan terobosan radikal ala Penalosa untuk melakukan face off (operasi total wajah) Jakarta sebagai kota sakit menjadi kota manusiawi bagi warganya. Ayo, Bang Foke, Anda bisa!

Tulus Abadi, ANGGOTA PENGURUS HARIAN YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA

Menteri Negara Urusan Konsumen

Menteri Negara Urusan Konsumen
Oleh Tulus Abadi
Media Indonesia, 31 Juli 1997


Menteri Negara Urusan Konsumen? Kenapa tidak? Toh sekarang sudah ada Menteri Negara Urusan Khusus? Siapa tahu dengan adanya jabatan baru itu, nasib konsumen di Indonesia jadi lebih baik. Anda setuju?

Ingar binger kampanye Pemilu beberapa bulan yang silam, mungkin masih hangat dalam benak kita. Bahkan, rasa takut dan dampak fisiknya masih membekas pada orang-orang yang secara langsung menjadi korban kampanye. Saat itu, semua OPP mengkampanyekan berbagai tema actual yang segar dan cerdas. Persoalan mengentaskan kemiskinan, memberantas korupsi, atau bahkan proses demokratisasi, adalah tema yang paling dominant dilansir. Bahkan salah satu OPP dengan sangat mantap berjanji akan membebaskan biaya pendidikan alias SPP.

Tema-tema kampanye seperti itu, dalam rangka menggaet simpati sebanyak mungkin, adalah wajar dan sah-sah saja, walau kadang program-program yang dilontarkan terkesan bombastic-utopis. Juga, apakah program itu nanti terealisasi atau tidak itu urusan belakangan.

Relevan dengan fenomena di atas, berdasarkan pengamatan YLKI, tak satu pun tema kampanye yang menyinggung isu-isu konsumen, atau minimal berdimensi perlindungan konsumen. Padahal, isu konsumen sangat mungkin menjadi komoditi yang merarik dan mempunyai nilai jual yang tinggi untuk dikampanyekan. Mungkin ada yang berpikir ini adalah pemikiran yang egoistic, atau beranggapan, itu kan maunya YLKI. Tuduhan seperti itu sah-sah saja. Namum bila kitqa dudukkan persoalan isu konsumen ini secara proporsional, tanpa pretense apa-apa, kita akan yakin bahwa persoalan perlindungan konsumen tak lain identik dengan perlindungan dan pemberdayaan rakyat Indonesia secara makro.

Ada beberapa sebab mengapa isu konsumen sama sekali tidak tersentuh dan dikampanyekan dalam Pemilu. Dalam konteks Negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, isu konsumen memang belum begitu popular. Ini terjadi baik ditataran Negara maupun dalam masyarakat sekalipun. Dengan demikian – terutama dalam tataran Negara – isu konsumen masih menjadi barang mahal. Artinya, jika isu konsumen dan konsumerisme benar-benar dikampanyekan secara ekonomis akan bertabrakan dengan visi ekonomi-politik riil, konsumen tetap menjadi sub-ordinat pengusaha.

Ada rumor, jika UU Perlindungan Konsumen – yang hingga detik ini masih menjadi titik utama perjuangan YLKI – disahkan dan diberlakukan, maka akan banyak pengusaha Indonesia yang berjatuhan alias ambruk. Rumor semacan ini sebenarnya lebih tepat untuk menunjukkan belum siapnya pengusaha, yang dalam praktek lebih banyak berlindung dibawah “ketiak” pemerintah, untuk berhadapan secara langsung dengan konsumen. Faktor lain, mungkin karena dalam sector politis ini kurang tergarap secara professional,, sekalipun oleh lembaga yang paling serius dengan isu konsumen itu sendiri, misalnya YLKI.

Pasca pemilu, kita pun disentakkan oleh berita yang mengagetkan : Harmoko diangkat menjadi Menteri Negara Urusan Khusus. Pengangkatan ini memang menyentakkan, bukan karena Harmoko nya, tetapi lebih disebabkan oleh nama jabata baru yang disandang oleh Harmoko itu sendiri. Sebab baru pertama kali ini dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, ada seorang menteri yang bernama Menteri Negera Urusan Khusus. Lebih unik lagi, istilah itu akhirnya melahirkan berbagai idiom yang tak kalah menariknya, misalnya ada usul agar dibentuk Menteri Negara Urusan Anak-anak.

Timbang punya timbang, relevan dengan uraian diatas, mengapa tidak sekalian saja diangkat Menteri Negara Urusan Konsumen?

Sepintas, usulan ini mengesankan seperti bercanda atau latah atu ikut-ikutan. Atau lagi-lagi ada yang mengatakan, “Ah, itu kan maunya YLKI.” Namun sebenarnya tidak. Pada banyak Negara, baik di Negara maju maupun Negara berkembang, masalah perlindungan konsumen mendapatkan tempat yang sangat layak dan proporsional. Dengan demikian, posisi kosnumen sangatlah kuat, atau minimal terlindungi, baik dari segi politis maupun yuridis. Dari segi politis misalnya dengan keberpihakan pemerintah atau Negara terhadap persoalan-persoalan konsumen. Dari segi yuridis, misalnya dengan memberlakukan UU Perlindungan Konsumen (UUPK). Adanya kedua landasan ini sangat penting bagi konsumen, terutama jika konsumen merasa dirugikan oleh tindakan pengusaha maupun Negara.

Kita ambil contoh, misalnya di Malaysia dan India. Di kedua negara tersebut, yang sama-sama negara berkembang sudah cukup lama memiliki UUPK. Di kedua negara ini juga ada seorang menteri yang khusus menangani masalah konsumen. Filipina, Thailand, Sri Lanka, Mauritius, bahkan RRC yang notabene negara komunis, juga memiliki undang-undang ini. Apalagi di negara-negara yang sudah maju seperti Korea, Taiwan, Jepang, Australia, Belanda, Amerika, atau Inggris. Di Australia bahkan lembaga konsumen setempat pernah mampu menutup sebuah perusahaan besar karena dinilai sangat merugikan konsumen.

Pertanyaannya, mengapa lembaga konsumen Australia bisa begitu hebat? Ya, karena Australia mempunyai UUPK yang melegitimasi tindakan lembaga konsumen itu, sekalipun untuk menutup sebuah perusahaan atau pabrik besar. Sementara, di Indonesia undang-undang yang mengatur secara langsung masalah perlindungan konsumen, hingga kini belum lahir. YLKI, sebagai lembaga yang paling kompeten dengan tema ini, sejak tahun 1981 sudah memperjuangkan UUPK. Sayang nya, hingga kini belum berhasil juga.

Jadi, kembali pada persoalan Menteri Negara Urusan Konsumen. Benarkah hanya latah atau bercanda?

Sudah pasti, ide ini digulirkan untuk ditanggapi secara serius. Syukur-syukur ada tindakan konkret dari pemegang kebijakan. Jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai 200 juta. Adalah konsumen pangsa pasar yang cukup menggiurkan. Apalagi, di negera-negara yang setingkat dengan Indonesia, persoalan konsumen sudah diatur dengan serius.Lebih mendesak lagi, manakala era pasar bebas sudah berlangsung, maka cepat atu lambat konsumen yang 200 juta iutu sangat perlu dilindungi dan diselamatkan dari kemungkinan praktek-praktek curang dalam bisnis.

Atau, sebagai tindakan antisipatif sekaligus preventif, lembagaplembaga semacam YLKI, atau siapa pun orang dan lembaga yang peduli dengan isu konsumen, untuk mulai aktif melakukan lobi politik ke salah satu OPP. Maksudnya, agar isu konsumen termasuk UUPK turut dikampanyekan dan digembar-gemborkan dalam Pemilu mendatang. Syukur-syukur, kalau sebelum itu bisa usul kepada pemerintah untuk mengangkat Menteri Negara Urusan Konsumen, mumpung kabinet yang baru belum terbentuk. (Penulis adalah staf Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia)


***

Menteri Negara

Foto-foto gue..


Minggu, 27 Juli 2008

Senin, 21 Juli 2008

Puisiku, Puisimu, Puisi Kita ...

Di Sebuah UGD Rumah Sakit

di sebuah ugd rumah sakit
aku mengetuk pintu
terlihat tubuh-tubuh lesu dan beku
mulut-mulut terkatub, membisu
sebagian merintih kelu

disebuah ugd rumah sakit
tiba-tiba ada kelepak burung gagak hitam
menyambar, lalu suara tetangisan memecah
"tunggu giliranmu", kata sang burung gagak
aku gemetar
nanar

di sebuah ugd rumah sakit
seorang perempuan berbaju putih
dengan sebilah stetoskop menggantung
berkata, "saya tidak bertanggung jawab jika terjadi sesuatu"
sang pasien tercenung
lunglai

di sebuah ugd rumah sakit
aku jadi ingat doa sang Nabi:
"Tuhanku, sehatkan ragaku, sehatkan pendengaranku,
sehatkan penglihatanku"
lalu syahdu suara adzan memanggiliku
dari balik terali pintu
aku mendatangi panggilan-Mu, bersimpuh
sujud

di sebuah ugd rumah sakit
aku termangu, setelah meraba tebal dompetku
inikah negeriku?

Pasar Rebo, 19/07/08

Minggu, 20 Juli 2008

Merawat Sektor Transportasi Publik

Merawat Sektor Transportasi Publik

Gong kenaikan harga bahan bakar minyak baru saja ditabuh oleh Presiden Yudhoyono. Kendati ada gelombang penolakan oleh kalangan mahasiswa plus perlawanan ‘semu’ dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah bergeming. Dari sisi politik pengelolaan energi yang berkelanjutan, sejatinya langkah Presiden Yudhoyono menaikkan harga bahan bakar minyak hingga 28,7 persen, bisa dipahami. Namun, aksi penolakan oleh kalangan mahasiswa pun tidak kalah rasionalnya untuk di endors. Pasalnya, biasanya Pemerintah tidak piawai dalam melindungi sektor yang terdampak langsung oleh kenaikan harga bahan bakar minyak. Bantuan Tunai Langsung (BLT), sekalipun dengan embel-embel plus, jelas bukan resep mujarab untuk memproteksi keluarga miskin dari keterpurukan.

Selain bahan pangan (sembako), salah satu komoditas strategis yang terkena dampak langsung kenaikan harga bahan bakar minyak adalah sektor transportasi. Maka wajar, jika kini para pengusaha angkutan dan Organda lantang berteriak minta tarifnya segera dinaikkan, bahkan hingga 50 persen. Sementara, Menteri Perhubungan hanya ‘merestui’ kenaikan tarif transportasi tidak lebih dari 15 persen saja. Usulan kenaikan, baik oleh awak angkutan dan atau Organda, secara rasional tidak bisa dielakkan. Tetapi persoalannya, membebankan semua dampak kenaikan harga bahan bakar minyak ke dalam komponen tarif, jelas tidak fair. Komponen tarif transportasi itu bukan hanya bahan bakar minyak, tetapi banyak faktor, baik mikro maupun makro, yang secara signifikan mempengaruhi kinerja transportasi di Indonesia, khususnya transportasi dalam kota. Apa sajakah gerangan?

Pungutan Liar

Pungutan liar (pungli) di sektor transportasi terbukti menjadi ’hantu’ yang amat menakutkan. Nilai nominal yang tersedot jika diakumulasi bukanlah ecek-ecek, bahkan menurut Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Angkutan Darat (DPP Organda) nilainya tidak kurang dari Rp 17 trilyun per tahun. Klaim DPP Organda bukanlah isapan jempol belaka, sebab kini pungli justru mengalami eskalasi yang amat luas, tidak hanya pungli di jalanan (fenomena ‘pak ogak’) tetapi juga pungli di internal birokrasi. Bahkan dengan instrumen peraturan daerah, pungli justru dilegitimasi dengan kedok retribusi. Pungli yang paling kentara adalah pada saat pelaksanaan uji kir, yang faktanya hanya formalitas belaka. Tingginya pungli ini jelas merupakan high cost economy bagi kinerja sektor transportasi. Dan siapa lagi yang harus menanggungnya kalau bukan konsumen sebagai pengguna jasa transportasi. Pelaku usaha sektor transportasi pasti melakukan sharing of burden dengan konsumen; baik berupa kenaikan tarif secara sepihak, atau menurunkan kualitas layanan kepada konsumen, sekalipun aspek keselamatan dipertaruhkan.

Izin Trayek

Selain pungli, salah satu penyakit yang membebani kinerja transportasi adalah rute yang tidak efisien (tumpang tindih). Akibatnya konsumen harus beberapa kali ganti angkutan--rata-rata tiga kali, untuk menuju ke tempat tujuan (tempat kerja). Pemicu kondisi ini karena pemberian ijin trayek begitu mudahnya. Ijin trayek diberikan tanpa adanya studi kelayakan terhadap rute yang akan dilalui, misalnya, berapa potensi konsumen yang akan mengakses rute tersebut. Akibatnya, pengemudi tidak mendapatkan income yang memadai, kendati harus ‘saling sikut’ antar pengemudi yang lain. Bagi konsumen efeknya sangat jelas, apalagi kalau bukan menurunnya kualitas layanan. Selain berpotensi menurunnya aspek keselamatan (karena pengemudi saling kebut-kebutan), yang paling lazim adalah konsumen diturunkan sebelum sampai tujuan akhir. Ironisnya kondisi ini seperti dibiarkan saja (bahkan dipelihara), bukan saja oleh oknum aparat (”mafia”) tetapi juga oleh kalangan pengusaha angkutan itu sendiri.

Pungli dan tidak efisiennya rute/trayek, terbukti ampuh menggerogoti sektor transportasi publik, bukan hanya kenaikan harga bahan bakar minyak saja. Artinya, sekalipun tarif transportasi dinaikkan setinggi langit, tanpa pembenahan radikal terhadap kedua benalu ini, maka tetap saja kondisi transportasi tidak akan sehat. Yang ada malah saling ”membunuh” antara pengusaha dan awak angkutan.

Pemberian Subsidi?

Selain pungli dan trayek yang tumpang tindih, Pemerintah juga tidak bisa melupakan faktor subsidi untuk sektor transportasi. Di negara maju sekalipun, sektor transportasi publik masih mendapatkan suntikan subsidi dari Pemerintah. Membebankan semua biaya operasi ke dalam tarif yang harus ditanggung konsumen, tetap tidak akan mampu menutup tingginya biaya operasi. Namun, mengingat kondisi transportasi publik yang runyam seperti ini, pemberian subsidi harus ekstra hati-hati, tergantung bagaimana pola managemen perusahaan angkutan yang bersangkutan. Misalnya, untuk busway Trans Jakarta, subsidi bisa diberikan secara cash kepada managemen Badan Layanan Umum (BLU) selaku pengelola busway Trans Jakarta. Pemberian secara cash kepada Trans Jakarta menjadi rasional, selain karena moda ini di desain sebagai sistem transportasi yang berkelanjutan, juga biaya operasi Trans Jakarta hingga kini memang masih disubsidi oleh dana APBD DKI Jakarta. Jadi, pihak BLU tidak perlu lagi menaikkan tarifnya.

Sedangkan untuk perusahaan transportasi lainnya, yang mayoritas masih dimiliki oleh perseorangan, subsidi yang diberikan bisa berupa penurunan atau bahkan pembebasan bea impor untuk suku cadang. Hal ini sangat mendesak, karena mayoritas suku cadang masih di impor dari negara pemegang merek, dan kini mengalami kenaikan hingga 20 persen. Jika di berikan secara cash, dikhawatirkan tidak berimplikasi langsung kepada konsumen, alih-alih dana subsidi tersebut malah ”dimakan” oleh si pengusaha angkutan sendiri. Atau, usulan DPD Organda DKI agar Pemerintah memberikan harga khusus bahan bakar minyak (menggunakan harga lama) untuk angkutan umum, juga layak dipertimbangkan. Tetapi, bagaimana mengontrolnya?

Jika Pemerintah tidak melakukan terobosan radikal, maka kondisi transportasi publik di berbagai kota di Indonesia, akan mati suri (sekarat). Selain pelayanan yang terus menurun plus keselamatan yang tergadaikan, juga akan terjadi penggelembungan pengeluaran biaya transportasi konsumen yang sudah melewati batas rasional. Hasil survei YLKI (1995), pengeluaran biaya transportasi masyarakat di 9 (sembilan) kota mencapai 14 persen hingga 20 persen per bulan. Padahal, normalnya hanya 12-14 persen dari total income yang diperolehnya. Bahkan, sejak kenaikan harga bahan bakar minyak 2005, pengeluaran biaya transportai masyarakat sudah mencapai lebih dari 30 persen dari total income, per bulannya.

Jadi, agar transportasi publik di kota-kota besar di Indonesia tetap eksis, bukan saja harus dirawat dari sisi fisik saja, tetapi juga memerlukan dukungan ”perawatan” dari Pemerintah, dengan kebijakan yang mendukungnya. Memangkas tingginya pungli (khususnya di birokrasi), menata ulang ijin trayek yang saling membunuh antara operator, plus memberikan berbagai insentif (subsidi) kepada pelaku usaha sektor transportasi, adalah resep mujarab untuk menyehatkan sektor transportasi. Tanpa itu, pembebanan biaya operasi kepada konsumen dengan menaikkan tarif setinggi apa pun, tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan yang ada. Alih-alih belanja transportasi konsumen makin menggelembung, dan pelaku usaha sektor transportasi pun ambruk karenanya. Tingginya harga minyak seharusnya dijadikan momen untuk melakukan pembenahan sektor transportasi publik secara radikal.

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI

Sumber : Media Indonesia, Mei 2008

Kamis, 17 Juli 2008

Urgensi Regulasi Pengendalian Tembakau

SUARA PEMBARUAN DAILY

Urgensi Regulasi Pengendalian Tembakau

Tulus Abadi

andidat Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik John McCain menyampaikan lelucon yang tidak lucu. Ketika wartawan bertanya perihal ekspor rokok Amerika ke Iran, yang meningkat 10 kali lipat saat George W Bush berkuasa, McCain menjawab: "Mungkin ini suatu jalan untuk membunuh mereka (orang-orang Iran)".

Kendati ucapan itu diralat dan dianggap guyonan saja, toh secara empiris tidak mampu menyembunyikan sebuah fenomena bahwa Amerika Serikat menjadikan negeri lain sebagai "keranjang sampah nikotin". Rasanya Indonesia juga tidak luput dari fenomena itu, bahkan bisa lebih dahsyat. Saat Philip Morris mengakuisisi 94 persen saham PT HM Sampoerna, seharusnya jangan dilihat dari perspektif ekonomi saja.

Tetapi, dalam konteks Indonesia, yang melakukan "pembunuhan massal" atas masyarakat Indonesia ternyata bukan hanya dari bangsa lain; tetapi yang lebih dominan justru dilakukan oleh bangsa sendiri, Pemerintah Indonesia. Logikanya di mana? Jika pada 1995 produksi rokok hanya 199.450 miliar batang, maka 10 tahun kemudian (2005) meningkat menjadi 235.500 miliar batang. Itulah buktinya. Akibatnya, kini konsumsi rokok di kalangan remaja dan anak-anak Indonesia merupakan tercepat di dunia. Prevalensi merokok di kalangan remaja laki-laki umur 15-19 tahun meningkat 139,4 persen selama 1995-2004; dari 13,7 persen menjadi 32,8 persen. Perokok perempuan pun pada kelompok umur yang sama meningkat lebih dari enam kali lipat.

Miskin

Tingginya jumlah perokok pada rumah tangga miskin juga sangat merisaukan. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2003-2005 membuktikan, konsumsi rumah tangga miskin untuk tembakau menduduki rating kedua (12,43 persen), setelah konsumsi padi-padian (19,30 persen). Jadi, untuk keperluan tembakau keluarga miskin mengalokasikan 15 kali lipat dari keperluan daging (0,85 persen), 5 kali lipat dari keperluan susu dan telur (2,34 persen), 8 kali lipat dari keperluan pendidikan (1,47 persen), dan 6 kali lipat dari keperluan kesehatan (1,99 persen. Perilaku semacam ini jelas keblinger.

Mengapa hal itu terjadi dan bahkan mengalami eskalasi yang amat luas? Secara minimalis fenomena dipicu oleh dua hal, yaitu; pertama, oleh iklan, promosi, dan pola penjualan rokok yang amat gencar. Kedua, cukai dan harga rokok yang amat rendah. Rokok adalah adiktif dan in-inelastik, tak diiklankan dan dipromosikan pun pasti laku keras. Sifatnya yang "candu" akan menimbulkan ketergantungan dan diburu oleh penggunanya. Ironisnya, iklan dan promosi rokok begitu gencar. Di media massa, menurut AC Nielsen Media Research, belanja iklan rokok menduduki rating kedua sebesar Rp 1,6 triliun (2006) dan rating ketiga besar Rp 1,5 triliun pada 2007.

Kesalahan fatal berikutnya, rokok diposisikan sebagai 'produk normal' laiknya bahan pangan. Harganya pun murah meriah, bandingkan dengan harga pangan yang terus melonjak. Cukai rokok yang rendah, bahkan terendah di dunia setelah Kamboja, mengakibatkan rokok begitu gampang diakses oleh anak-anak, remaja, dan orang miskin. Cukai rokok di Indonesia hanya 37 persen (Kamboja 20 persen), sementara rata-rata di dunia lebih dari 60 persen. Lebih konyol lagi, cukai rokok hanya dieksploitasi sebagai pendapatan negara saja, padahal cukai adalah sin tax alias "pajak dosa". Seharusnya, cukai digunakan sebagai instrumen untuk pengawasan dan pembatasan produk yang dikenai cukai. Pada titik inilah pemerintah secara diametral melanggar UU No 39 Tahun 2007 tentang Cukai, karena tidak melakukan pengawasan dan pembatasan penjualan produk rokok. Seharusnya sekian persen cukai rokok didedikasikan untuk upaya promosi kesehatan (earmarking tax).

Regulasi

Kendati permasalahan begitu gawat, toh Pemerintah bergeming, tak sedikit pun beranjak dari "penjara abadi" yang diciptakan industri rokok. Seharusnya pemerintah menginisiasi sebuah regulasi yang komprehensif untuk melindungi warga negaranya.
Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang diinisiasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tak juga digubris; sekalipun FCTC telah menjadi hukum internasional dan 157 negara telah meratifikasinya. Di kawasan Asia, Indonesia satu-satunya negara yang "cuek bebek" dengan FCTC: tidak menandatangani dan meratifikasinya, hingga kini. Padahal, Pemerintah Indonesia menjadi salah satu drafting committee FCTC.

DPR setali tiga uang. Kendati Rancangan Undang-Undang Pengendalian Dampak Tembakau telah didukung oleh 258 anggota DPR (41 persen), toh Badan Legislasi DPR emoh memasukkan RUU tersebut ke dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2008-2009, dengan alasan belum mempunyai "urgensi nasional". Padahal, syarat untuk menjadi RUU inisiatif DPR cukup 13 persetujuan anggota DPR.

Berpijak dari fakta dan fenomena tersebut, maka menjadi suatu kewajaran (keharusan) jika advokasi masyarakat sipil terhadap isu tembakau di Indonesia kian mengeras. Bukan lagi berupa penyuluhan terhadap bahaya rokok, mengadakan klinik berhenti merokok atau pengobatan gratis penyakit akibat merokok. Lebih dari itu, sekelompok masyarakat sipil kini melakukan gugatan ke pengadilan, dan yang menjadi tergugat pun tidak tanggung-tanggung, yakni Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dasar Normatif

YLKI bersama Forum Warga Kota Jakarta/FAKTA, Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok/LM3 dan Koalisi untuk Indonesia Sehat/KuIS; pada 19 Juni 2008 telah mendaftarkan gugatan legal standing di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Perkara No 204/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst).

Pertanyaannya, selain fakta-fakta sosiologis-ekonomis di atas adakah dasar normatif yang dilanggar oleh kedua institusi itu, sehingga harus digugat?

Secara normatif mengapa mereka digugat? Pertama, secara konstitusional hidup sehat dan sejahtera adalah hak setiap warga negara (Pasal 28 huruf A dan H ayat 1, UUD '45). Bahkan, hak semacam ini lebih dipertegas lagi dalam berbagai peraturan perundangan seperti, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 9, 11, 12); Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 tentang Ekonomi, Sosial dan Budaya (Pasal 7, 11 ayat 1 dan 12 ayat 1); dan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Pasal 9, 44 ayat 1-2). Tetapi, nyatanya, hak yang paling asasi ini justru dinegasikan negara, yang, bukan saja tidak memfasilitasi warganya untuk mencapai derajad 'sehat dan sejahtera', tetapi justru melakukan pembiaran terhadap generasi sekarang dan mendatang oleh dampak merusak tembakau.

Kedua, dukungan masyarakat. Dukungan masyarakat agar pemerintah dan DPR membuat suatu regulasi untuk pengendalian tembakau sangat kuat. Selain dari kalangan LSM, juga masyarakat secara langsung. Dukungan itu se- tidaknya tercermin pada hasil survei yang dilakukan oleh Quick Global Strategies. Survei ini dilakukan pada Mei-Juni 2008, melibatkan 1.200 responden, berusia di atas 18 tahun, di delapan kota di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Intinya, responden berpendapat, pertama, lebih 91 persen mendukung usulan agar Indonesia meratifikasi FCTC. Hanya 9 persen responden yang menolak. Kedua, 97 persen mendukung pemasangan label peringatan ke- sehatan dengan gambar pada kemasan rokok dan 96 persen mendukung perlunya iklan untuk menginformasikan kepada publik mengenai dampak negatif rokok.

Ketiga, dukungan pada pelarangan iklan rokok (88 persen), peningkatan cukai rokok (88 persen), serta pelarangan merokok di tempat kerja (86 persen). Selebihnya, tiga dari empat orang Indonesia (77 persen) mengatakan bahwa konsumsi rokok di Indonesia kini sudah mengkhawatirkan.

Pada tataran inilah, gugatan legal standing kepada presiden dan DPR mempunyai landasan yang cukup absah, baik dari sisi normatif, ekonomis, dan sosiologis. Tujuan gugatan ini adalah meminta presiden dan DPR segera membuat regulasi yang komprehensif untuk memproteksi warga negaranya dari dampak merusak tembakau.

Penulis adalah anggota Pengurus Harian YLKI dan Ketua Bidang Advokasi Komisi Nasional Pengendalian Tembakau

Sumber : Suara Pembaruan, Rabu, 16 Juli 2008

Reorientasi Profesi Dokter..

DOKTER PTT
Visi Indonesia Sehat Jangan Cuma Mimpi

Sabtu, 19 Mei 2007

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tak habis mengerti mengenai langkah Departemen Kesehatan menghapus kebijakan wajib menjalani praktik pegawai tidak tetap (PTT) bagi dokter baru. "Itu sangat bertentangan dengan niat Departemen Kesehatan membuat masyarakat kita menjadi sehat," kata Dewan Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi.
Penilaian itu tidak berlebihan. Kebijakan yang tak lagi mewajibkan praktik PTT membuat kepentingan masyarakat untuk memperoleh layanan dokter menjadi termarjinalkan: sangat bergantung pada kemampuan dan political will pemerintah daerah (pemda). Bila kemampuan atau kemauan pemda tak ada, layanan dokter adalah "barang langka".

Berharap pada hati nurani dan idealisme dokter saja jelas absurd. Ya, karena kesehatan masyarakat bukan soal hati nurani dan idealisme orang per orang. Kesehatan masyarakat adalah kebutuhan mendasar, dan karena itu harus jelas hitung-hitungannya secara ekonomi. Artinya, dari sisi manajemen pemerintahan, harus ada alokasi khusus dalam anggaran.
Tapi, soalnya, tak semua pemda siap. Daerah-daerah yang kering pemasukan jelas kerepotan jika harus membuat alokasi anggaran tersendiri bagi pengadaan tenaga dokter di daerah masing-masing sesuai proporsi penduduk.

Namun begitu, Visi Indonesia Sehat 2010 yang dicanangkan pemerintah jangan cuma mimpi. Diharapkan berbagai program yang diluncurkan dalam rangka menciptakan kesehatan masyarakat tak hanya mengawang di awan.

Toh begitu, Tulus masih mengkhawatirkan masyarakat-- terutama di daerah terpencil -- tak bisa memperoleh akses layanan kesehatan. Padahal selama ini, masalah tersebut relatif bisa tertangani berkat kebijakan wajib tugas PTT bagi dokter baru.

Tulus terus-terang menilai penghapusan kebijakan wajib tugas PTT itu bias dengan kepentingan dokter untuk bisa berkiprah hanya di perkotaan atau di daerah basah. Atas dasar itu pula, "Kami akan minta Departemen Kesehatan agar membatalkan penghapusan kebijakan itu," kata Tulus.

Menurut Tulus, pemerintah seharusnya justru memperbanyak dokter tugas PTT. Ini bukan cuma soal pemerataan antardaerah, melainkan terutama karena begitu banyak masyarakat yang sangat membutuhkan layanan tenaga dokter.

Selama ini saja, persoalan tersebut begitu gamblang mengemuka. Justru itu, setelah kebijakan wajib tugas PTT bagi dokter dihapus, persoalan itu bisa kian menjadi-jadi. Terutama di daerah pelosok atau terpencil, masyarakat tak bisa lagi berharap terhadap layanan tenaga dokter.
Kepala Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kesehatan dr Agus Purwadianto sebelumnya menyatakan penghapusan dokter PTT merupakan amanat Undang-undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Saat ini kalangan dokter sendiri tak puas dengan keberadaan UU tersebut. Tak heran bila UU No 29/2004 itu dalam proses uji material di Mahkamah Konstitusi. Salah satu yang dipersoalkan kalangan dokter adalah kekhawatiran kriminalisasi terhadap dokter.
Tetapi Tulus menyatakan tak sependapat dengan pikiran semacam itu. Mestinya pemerintah, menurut Tulus, mengambil tindakan status quo atas UU tersebut. Karena UU itu sendiri dalam proses uji material, pemerintah seyogianya tidak mengambil kebijakan penting yang dalam hal ini adalah lahirnya Permenkes No 512 Tahun 2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran.

Meski uji material tersebut bersifat parsial karena hanya pasal tertentu saja, di mata Tulus, Departemen Kesehatan memang sudah selayaknya mendinginkan persoalan terlebih dahulu.
"Tidak boleh mengambil kebijakan ketika UU-nya sedang diperjuangkan meski hanya beberapa pasal yang sedang diuji material," kata Tulus.

Tulus juga merasa khawatir Permenkes No 512 tersebut mengakibatkan pergeseran orientasi para dokter. "Katakanlah dokter-dokter sekarang seperti ingin enaknya sendiri hanya ingin praktik di daerah empuk dan tidak mau berpraktik di daerah tertinggal," kata Tulus. Hal tersebut menurut Tulus mengingkari etik kedokteran itu sendiri.

Kesiapan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota agaknya juga dipertanyakan. Dalam Jurnal Manajemen Ilmu Kesehatan No 01 Maret 2006, Laode Ahmad Sukarno, Nanis Budiningsih dan Sigit Riyanto antara lain menulis dinas kesheatan di daerah mendapat anggaran 3 persen dari total APBD. Tetapi pada sisi lain SDM dinas kesehatan di daerah juga belum sepenuhnya mampu menyusun anggaran dan perencanan pelayanan kesehatan.

Pantas saja jika Tulus menekankan agar pemerintah pusat tetap ikut mengurusi masalah tersebut meski masalah kesehatan termasuk yang ikut didesentralisasi.
"Kalau makin dilepas akan semakin buruk. Kalau hanya melihat kepentingan individu saja nanti tidak ada dokter yang mau praktik di ujung pulau di Indonesia, misalnya di pulau terpencil di Indonesia," katanya.

Menurut hemat Tulus, penghapusan dokter PTT membahayakan sistem pelayanan kesehatan masyarakat disamping mengingkari etik kedokteran. "Dokter harus mau bekerja untuk siapa saja," ujar Tulus.

Tulus kembali mengkritik Departemen Kesehatan yang dinilainya saat ini tidak dalam kondisi untuk mensehatkan masyarakat. Pasalnya instrumen ke arah tersebut malah dihilangkan. "Sepertinya (kebijakan tersebut) bias dengan kepentingan dokter itu sendiri," kata Tulus. (Mangku)

Sumber : Suara Karya

Foto Aktivitas


'SOS' Sektor Ketenagalistrikan

Sektor ketenagalistrikan yang begitu vital dan strategis, tampaknya justru menjadi anak tiri di negeri ini. Berbagai kebijakan yang digulirkan Pemerintah selain tidak kondusif untuk mengembangkan ketenegalistrikan secara sehat, bahkan, dalam banyak hal justru bersifat destruktif terhadap sektor ketenagalistrikan itu sendiri. Akibatnya, secara perlahan tetapi meyakinkan, kinerja sektor ketenagalistrikan di Indonesia terus tergerogoti. Kini, ketika Jakarta – yang nota bene simbol Indonesia – harus bergelap ria, adalah pertanda drama ’kematian’ sektor ketenagalistrikan begitu dekat dan kentara. Siapa lagi yang dirugikan kalau bukan konsumen listrik, maupun masyarakat Indonesia yang belum terlistriki.
Potret jebloknya layanan PT PLN selaku penyedia tunggal ketenagalistrikan di Indonesia, sejatinya bukan kisah baru. Semenjak 1997 hingga sekarang, jika ditakar via data Bidang Pengaduan YLKI, kasus pengaduan ketenagalistrikan selalu bertengger pada posisi the big five. Klimaksnya, pada 2004-2005 YLKI ‘kebanjiran’ pengaduan yaitu mencapai 5.893 pengaduan dari 10 area pelayanan PLN di Indonesia, mulai dari Banten, Palu, Palembang, Bandung, Malang, Semarang, Yogyakarta, Jakarta, Semarang, Bali dan Pontianak. Dari 5.893 pengaduan itu yang paling dominan adalah mengenai kualitas produk (seperti gangguan pemadaman dan aliran listrik tidak stabil) sebanyak 1.962 kasus (33,29%); pengelolaan sumber daya manusia sebanyak 1.344 kasus (22,81%); proses bisnis (seperti permintaan sambung baru, tambah/turun daya, P2TL) sebanyak 893 kasus (15,15%); tarif dasar listrik yang dirasa berat sebanyak 738 kasus (12, 55%); penerangan jalan umum sebanyak 499 kasus (8, 47%); sarana dan prasarana (seperti tiang listrik miring, payment point berjubel ) sebanyak 442 kasus (07, 50%).
Pada tataran normatif, berbagai kasus pengaduan terutama masalah pemadaman yang kini menjadi hantu baru bagi konsumen listrik, adalah bentuk pelanggaran hak-hak publik, yang tidak hanya dilakukan oleh PT PLN sebagai operator, tetapi juga Pemerintah sebagai regulator. Bentuk pelanggaran hak itu bisa diteropong dari berbagai perspektif regulasi yang melingkupinya, seperti UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (UUKL), Keputusan Presiden (Keppres) No. 104 Tahun 2004 tentang Harga Jual Tenaga Listrik yang Disediakan oleh PT PLN, maupun SK Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfatan Energi (Dirjen LPE) No. 114 Tahun 2003 tentang Tingkat Mutu Layanan (TMP) yang harus dideklarasikan oleh PLN. Pasal 4 UUPK menyebutkan bahwa konsumen berhak mendapatkan kenyamanan, keamanan dan keselamatan, saat menggunakan suatu produk barang dan atau jasa. Jelas, pemadaman listrik secara sepihak sangat mengganggu aspek kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen listrik. UU Ketenagalistrikan juga mengamanatkan bahwa PT PLN wajib memasok energi listrik kepada konsumen secara terus-menerus, berkesinambungan, dengan kualitas yang baik. Keppres No. 104 Tahun 2004, relevan dengan kenaikan tarif dasar listrik pada 2003, mewajibkan kepada PT PLN untuk meningkatkan layanan kepada konsumen. Bahkan, lebih teknis lagi, menurut SK Dirjen LPE No. 114/2003 tentang TMP, jika PLN melanggar TMP yang ditetapkan – salah satunya tentang lamanya pemadaman –, maka PLN wajib memberikan kompensasi 10 persen dari biaya beban/abonemen, kepada konsumen. Memang, nilai kompensasi ini secara empiris jelas tidak sebanding dengan tingkat kerugian yang dialami oleh konsumen, apalagi bagi kalangan bisnis dan industri.
Berpijak pada fakta empiris jebloknya kinerja PT PLN dalam melayani konsumen plus berbagai aspek normatif yang dilanggar; seharusnya fokus perbaikan layanan PLN terletak pada tiga hal, yaitu : kualitas produk, proses bisnis, dan pengelolaan sumber daya manusia. Perbaikan pada aspek proses bisnis nyaris tidak memerlukan banyak biaya. Untuk mewujudkan hal ini managemen PT PLN “cukup” menekan tingginya praktik percaloan antara oknum petugas PT PLN dengan perusahaan instalasi, yang acap mencekik leher konsumen saat melakukan ‘sambung baru’. Perbaikan pada aspek pengelolaan SDM juga tidak banyak membutuhkan biaya, karena fokus masalah yang harus diperbaiki adalah seputar petugas front office yang kurang simpatik, uang kembalian kurang, atau lambatnya penanganan pengaduan.
Namun, di sisi lain, perbaikan pada aspek kualitas produk (product quality) membutuhkan gelontoran biaya yang tak terkira banyaknya. Bahkan, secara faktual managemen PLN pun tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan ini tanpa adanya intervensi dari Pemerintah. Sebab, untuk melakukan perbaikan pada sisi kualitas produk, harus ada review kebijakan dari semua lini, baik dari sisi hulu maupun sisi hilir. Dari sisi hulu, terkait dengan kebijakan energi primer, sedangkan dari sisi hilir terkait dengan kebijakan pentarifan. Dari sisi hulu permasalahan yang paling krusial adalah sektor pembangkitan, yaitu minimnya pembangunan pembangkit baru dan tersendatnya pasokan energi primer terhadap mesin pembangkit PLN, khususnya yang berbasis gas dan batu bara. Masalah pasokan energi primer ini jelas bukan ranah PLN, bahkan faktanya, sebagai pengguna PLN sering menjadi ‘pesakitan’ (dirugikan). Pertumbuhan pembangunan pembangkit baru tidak sebanding dengan pertumbuhan permintaan ketenagalistrikan. Bagaimana tidak akan terjadi krisis, jika permintaan energi listrik bertumbuh 9 % (sembilan persen) per tahun, sementara pembangunan pembangkit baru hanya 1(satu) persen per tahun.
Jadi, untuk mengatasi krisis listrik yang saat ini terjadi (dan konon hingga 2009), tidak ada jalan lain selain menambah atau mempercepat pembangunan pembangkit baru. Tanpa itu, percepatan ratio elektrifikasi hingga mencapai 100 persen pada saat bangsa Indonesia berusia 100 tahun (“Visi 75-100”) seperti yang dicanangkan PLN, hanya akan menjadi mimpi di siang bolong. Selain itu, yang tidak boleh dilupakan adalah Pemerintah harus mengutamakan pasokan energi primer untuk pembangkit PLN. Apalah artinya Pemerintah mengeskpor gas dan batubara ke luar negeri, jika pasokan di dalam negeri sendiri terseok-seok? Untuk mewujudkan hal ini, Pemerintah harus berani merombak politik pengelolaan energi nasional plus melakukan re-negosiasi (setidaknya moratorium) terhadap berbagai kontrak perjanjian dagang di bidang energi dengan mitra asing yang terbukti sangat merugikan kepentingan nasional.
Kebijakan pentarifan yang saat ini ada pun harus dibongkar ulang. Kebijakan pentarifan saat ini sejatinya sangat tidak berpihak kepada pengembangan ketenagalistrikan. Sebab, antara biaya pokok penyediaan (biaya produksi) per Kwh dengan harga penjualan ke konsumen akhir, sangat jomplang. Lihat saja, biaya pokok penyediaan rata-rata Rp 1.900 per kWh, tetapi PLN harus menjual kepada konsumen hanya berkisar Rp 600 per kWh. Jelas akan bangkrut! Ditambah lagi PLN harus membeli bahan bakar dengan harga pasar. Hukum ekonomi model apapun pasti tidak membenarkan formulasi semacam ini. Bahkan, semenjak 2002, ketika harga bahan bakar minyak telah dinaikkan bertubi-tubi, tetapi kebijakan pentarifan energi listrik nyaris tidak mengalami perubahan, kecuali pada 2003 saja, itu pun secara parsial. Tampaknya perubahan kebijakan pentarifan energi listrik secara faktual tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Percepatan pembangunan pembangkit baru, mengutamakan pasokan energi primer untuk kebutuhan dalam negeri (untuk pembangkit PLN), plus perombakan kebijakan pentarifan; adalah langkah paling konkrit untuk menyelamatkan sektor ketenagalistrikan yang saat ini sedang menanti ajalnya. Kebijakan harga bahan bakar minyak seharusnya satu paket dengan kebijakan pentarifan sektor ketenagalistrikan. Sebaliknya, jika kondisi semacam ini terus dilanggengkan, sama artinya Pemerintah (atau ada pihak lain) ingin melakukan penghancuran terhadap sektor ketenagalistrikan di Indonesia.

Catatan : Dimuat Koran Tempo, Rabu, 16 Juli 2008