Rabu, 11 Februari 2009

Permainan Politik Harga BBM

Dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengahnya. Begitu petatah-petitih itu acap kita dengar. Tampaknya, hal itu relevan dengan kondisi kekinian di tanah air, yakni terkait dengan kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM). Mengapa demikian? Ternyata, pada akhirnya turunnya harga BBM hanya menjadi komoditas politik belaka; baik oleh kubu incumbent (Presiden Yudhoyono) maupun oleh kubu “oposisi” (Megawati). Kubu incumbent mengklaim bahwa turunnya harga BBM merupakan prestasi Presiden Yudhoyono dan Partai Demokrat.

Sementara bagi Megawati, kebijakan Yudhoyono belum berarti apa-apa, karena seharusnya harga BBM bisa dijual lebih murah lagi. Klaim kedua ‘gajah’ itu jelas tidak mencerminkan kondisi empiris yang sebenarnya. Karena, kalau harga BBM turun diklaim sebagai prestasi; demikian juga saat harga BBM naik, artinya juga merupakan kegagalan Presiden Yudhoyono. Sementara naik-turunnya harga BBM semata-mata karena harga minyak mentah dunia yang fluktuatif. Mantan Presiden Megawati juga tidak benar, kalau ingin mengjual BBM dengan ‘murmer’, alias murah meriah.

Setelah dua gajah itu bertarung, lalu siapa lagi yang akan berkorban menjadi sang pelanduk kalau bukan masyarakat konsumen?

Masyarakat konsumen pada titik tertentu hanya menjadi gedibal atas turunnya harga BBM. Sebab hingga kini semua komoditas yang terdampak langsung terhadap harga BBM belum menurunkan harga jualnya. Harga sembako malah cenderung naik, karena faktor cuaca dan buruknya infrastuktur. Bagaimana dengan tarif transportasi, khususnya angkutan umum darat? Ya, tak ada bedanya, alias sami mawon.

Kalangan pengusaha ritail baru akan menurunkan harga minimal satu bulan setelah harga BBM diturunkan. Argumen pengusaha ritail memang lumayan bisa dipahami, sebab faktanya barang pabrikan yang beredar di pasaran adalah hasil produksi dengan komponen harga BBM yng lama. Kini, yang menjadi gunjingan paling seru di tengah masyarakat adalah mengapa tarif angkutan umum (dalam kota), belum juga turun dari singgasananya? Tidak terlalu sulit untuk menjawab pertanyaan ini.

Pertama, formulasi yang ditetapkan Pemerintah memang di lapangan sulit diimplementasikan. Departemen Perhubungan (Dephub), memutuskan penurunan tarif angkutan dalam kota hanya berkisar 3-6 persen. Jika tarif angkotnya antara Rp 2.500 sampai dengan Rp 3.500; maka tarif yang akan turun hanya Rp 200-Rp 300. Jelas saja, kalau turunnya hanya ‘segitu’ ancaman awak angkutan yang akan mengembalikan dengan permen, secara teknis bisa dipahami.

Kedua, Pemerintah sejatinya tidak mempunyai alat kontrol yang kuat. Hal ini terkait dengan managemen transportasi yang amat buruk untuk level perkotaan. Akibatnya, dengan buruknya managemen transportasi itu Pemerintah tidak mampu mengontrol kinerja pengusaha angkutan. Hal ini terlihat, sekalipun pengusaha angkutan membangkang tidak mau menurunkan tarifnya, Dephub (Dishub) tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal, Dephub inilah yang mempunyai mandat sebagai regulator sektor transportasi di Indonesia. Benar, misalnya, Dishub DKI Jakarta akan membuka Posko Pengaduan tarif di masing-masing terminal. Jika terdapat pengaduan tarif yang tidak turun (atas lamporan konsumen), Dishub akan segera mencabut ijin trayek angkutan tersebut. Pertanyaannya, seberapa kuat Dishub membuka Posko ini? Dan, kalau hanya di terminal, bagaimana dengan konsumen tujuan akhirnya tidak sampai terminal, tetapi dilanggar haknya oleh awak angkutan? Posko ini terkesan hanya formalistik belaka.

Ketiga, sebagai entitas ekonomi, pengusaha angkutan, baik yang terwadahi oleh Organisasi Angkutan Darat (Organda) atau tidak, terlihat kurang mempunyai itikad baik dalam menjalankan usahanya. Sebab, ketika pemerintah menurunkan dengan kisaran Rp 200-Rp 300, mereka mengancam akan mengembalikan dengan permen, dengan alasan sulit mencari uang pecahan ratusan. Namun, ketika Pemerintah menurunkan hingga Rp 500—seperti Pemprov DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bogor, mereka menolak dan akan berhenti operasi, alias mogok. Lah, lalu maunya apa?

Sejatinya yang mendesak bagi masyarakat adalah bukan sekadar tarif transportasi, tetapi, bagaimana agar belanja transportasi masyarakat juga mengalami penurunan. Sebab, selama ini yang menjadi beban berat adalah belanja transportasi itu sendiri. Bayangkan saja, kini tidak kurang 30 persen pendapatan masyarakat tersedot habis untuk keperluan biaya transportasi, per bulannya. Sementara, yang menjadi faktor tingginya belanja masyarakat untuk sektor transportasi bukanlah tarif transportasi itu sendiri. Sangat boleh jadi tarif transportasinya terbilang murah. Tetapi persoalannya, berapa rupiahkah total pengeluaran masyarakat untuk mobilitas dirinya?

Melihat fenomena yang demikian, adalah paradoks ketika Presiden Yudhoyono menginginkan bahwa turunnya harga BBM akan mampu menggerakkan sektor riil dan belanja masyarakat juga mengalami peningkatan. Harapan itu sepertinya bak jauh panggang dari api. Terbukti, hampir di semua sektor belum menampakkan akan menurunkan tarifnya.

Terkait dengan sektor transportasi, yang mendesak untuk dibenahi bukan saja menurunkan tarifnya saja. Tetapi, kebijakan pentarifannya itu sendiri. Misalnya, idealnya indikator tarif angkutan kota bukan hanya menggunakan harga BBM saja. Sebagaimana tarif AKAP (Antar Kota Antar Provinsi), seharusnya angkutan dalam kota juga dievaluasi secara periodik, misalnya 6 (enam) bulan sekali. Sebab, jika hanya bersandar pada kebijakan harga BBM, selain kurang fair, rasanya akan sulit bagi sektor transportasi kalau mengikuti irama harga BBM yang bisa turun-naik setiap saat.

Masalah kacaunya sistem rute/trayek, dan tingginya pungli juga menjadi hal mendesak untuk segera dituntaskan. Rute dan trayek yang tumpang tindih, selain menyebabkan ongkos kemahalan bagi konsumen pengguna jasa transportasi, juga menyebabkan persaingan antar awak angkutan tidak sehat. Antar pengemudi malah saling ‘membunuh’, rebutan penumpang, dengan mengorbankan aspek keselamatan. Demikian juga dengan pungli di sektor transportasi, yang faktanya memang sangat menggerogoti kinerja sektor transportasi. Saat ini pungli di sektor transportasi mencapai Rp 17 trilyun per tahun. Dampak tingginya pungli bukan saja dialami oleh pengusaha angkutan saja, tapi juga konsumen. Biaya yang digelontorkan untuk membayar pungli jelas dibebankan kepada konsumen. Pada akhirnya konsumen yang harus menanggung pungli itu.

Menurunkan harga BBM adalah kebijakan yang patut dihargai, apalagi di tengah hantaman krisis global yang melanda saat ini. Namun, Pemerintah juga harus melakukan evaluasi total manakala kebijakan tersebut tidak menetes ke masyarakat secara keseluruhan. Sebab, ketika harga BBM turun tapi kemudian harga-harga yang lain tidak turun, maka bisa disimpulkan bahwa secara sistemik ada sesuatu yang keliru, baik pada tataran implementasi, atau bahkan pada tataran kebijakan makro. Akibatnya, jangan heran jika yang menikmati turunnya harga BBM hanyalah kelas menengah belaka. Yaitu masyarakat yang berkendaraan pribadi. Atau, jangan-jangan bahwa peruntukkan menurunkan harga BBM memang hanya untuk ‘mendiamkan’ kelas menengah saja, agar tidak ‘cerewet’ dan ngerecokin Presiden Yudhoyono? Sangat ironis jika persoalan harga BBM masih dijadikan komoditas politik jangka pendek.

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI.

Tulisan ini telah dimuat oleh harian Koran Jakarta, awal Februari 09.