Minggu, 24 Agustus 2008

Menuju Kebangkrutan Transportasi Jakarta

Tempo Interaktif, Senin, 18 Agustus 2008 12:25 WIB

MANTRA sakti Fauzi Bowo saat berkampanye bertajuk: Sserahkan pada ahlinya, sepertinya mengalami kelumpuhan nyata. Sang ahli belum mampu menyembuhkan berbagai penyakit kronis yang diderita Kota Jakarta. Buktinya, ketitidakberadaban wajah transportasi masih menjadi langgam yang tak terelakkan bagi Kota Jakarta, hingga kini.Sumber dari penyakit kronis di bidang transportasi bersandar pada tataran paradigmatis (bahkan ideologi). Inilah penyebab paling esensial mengapa transportasi Jakarta seperti tidak ada yang mengurus. Transportasi Jakarta dikelola dengan tidak menggunakan prinsip-prinsip dasar pengelolaan transportasi beradab, yaitu kemudahan akses bagi semua, keadilan, keberlanjutan secara ekologis, kesehatan dan keselamatan, partisipasi publik, serta transparansi.

Kemudahan akses bagi semua, dimaknai bahwa masyarakat kota seharusnya bisa bepergian dengan mudah, dengan berbagai moda transportasi yang tersedia, tidak dengan kendaraan pribadi, tapi dengan kendaraan umum. Sejatinya pada tahap ini, Kota Jakarta merupakan kota yang paling komplit (beragam) jenis angkutan umum yang bisa digunakan. Dari mulai bus besar, bus sedang, mikrolet, bemo, kereta rel listrik, bajay plus ojeg.

Tapi ironisnya, ketersediaan akses moda transportasi yang sangat beragam ini tidak terintegrasi dengan baik. Akibatnya, untuk menuju satu titik tujuan (tempat kerja) masyarakat harus merogoh kocek hingga batas rupiah yang tidak rasional. Bayangkan saja, kini alokasi anggaran transportasi warga Jakarta rata-rata 25-30 persen dari total pendapatannya per bulan. Padahal angka normal alokasi budget itu hanya pada kisaran 12-14 persen saja per bulannya.
Aspek keadilan sosial kondisinya lebih parah. Semua moda transportasi seharusnya bisa diakses semua lapisan masyarakat, bukan hanya oleh pengguna yang mampu secara fisik dan finansial. Tetapi juga kelompok masyarakat yang rentan, penyandang cacat, wanita hamil, atau kelompok lanjut usia. Lihatlah, betapa infrastruktur transportasi di Jakarta nyaris tidak memberikan ruang bagi kelompok masyarakat rentan ini. Cuma bus jalur khusus (busway) Trans Jakarta yang sedikit memberikan akses untuk golongan masyarakat ini).

Bandingkan dengan angkutan umum bus di Sydney, Australia. Seorang pengguna kursi roda dengan sangat gampang naik-turun bus tanpa dibantu orang lain. Hal ini terjadi karena infstruktur yang tersedia mendukung untuk itu. Misalnya desain interior bus yang memungkinkan seorang pengguna kursi roda masuk dengan leluasa. Juga, ketika si pengguna kursi roda hendak turun, tersedia instrumen khusus yang secara otomatis akan keluar dari badan bus dan kemudian tersambung dengan trotoar jalan. Si pengguna kursi roda pun dengan amat percaya diri melintasi mistar itu.

Aspek keberlanjutan ekologis juga nyaris tidak menjadi pertimbangan dalam menelorkan kebijakan transportasi yang ada. Sektor transportasi di Jakarta merupakan penyumbang paling dominan terhadap menururnya daya dukung lingkungan, bukan hanya pencemaran udara saja, yang 75 persennya disokong oleh sektor transportasi.

Hal ini terjadi karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melegitimasi dan membiarkan penggunaan kendaraan bermotor pribadi sebagai sarana mobilitas utama warga Jakarta. Kondisi ini jelas tidak masuk akal. Sarana utama transportasi warga kota seharusnya dengan transportasi masal, cepat, dan harga terjangkau. Kendaraan pribadi (mobil) hanya digunakan pada hari libur saja, atau bagi orang-orang sibuk, dengan mobilitas tinggi.

Salah satu bukti betapa sektor transportasasi di Jakarta tidak mendukung aspek ekologis yang berkelanjutan adalah penghancuran hutan bakau di sepanjang jalan tol bandara, untuk pelebaran jalan tol. Padahal, solusi ideal akses ke bandara adalah dengan kereta api, bukan jalan tol. Tapi demi kepentingan ekonomi belaka, puluhan bahkan ratusan pohon bakau di sepanjang jalan tol di babat habis. Pelebaran dan peninggian jalan tol bandara, khususnya pada kilo meter 26-27, adalah solusi instan.

Bagaimana dengan aspek keselamatan? Sektor transportasi jelas merupakan penyumbang paling tinggi terhadap kecelakaan di jalan raya. Secara nasional, tidak kurang dari 30 ribu orang meninggal di jalan raya saban tahunnya. Sialnya, yang selalu menjadi korban atau menjadi pihak yang “disalahkan” (dikorbankan) adalah pejalan kaki, pengguna sepeda, atau sepeda motor.
Padahal, secara teknis tingginya kecelakaan di jalan raya justru dipicu oleh maraknya penggunaan kendaraan pribadi roda empat. Tegasnya, tingginya penggunaan mobil adalah sebagai penyebab utama kecelakaan lalu-lintas. Logikanya? Karena tipe kendaraan ini paling banyak membutuhkan ruang jalan untuk mobilitasnya.

Dari sisi managemen lalu lintas, mobil pribadi adalah jenis moda transportasi yang paling buruk untuk mobilitas warga kota. Selain penggunaan ruang jalan yang dominan, juga menimbulkan efek samping yang kompleks, terutama pada lingkungan lokal seperti polusi udara, air, dan bahkan polusi suara. Juga efek samping pada lingkungan global, yaitu sebagai penyokong utama terjadinya perubahan iklim global (global climate change).

Selain itu, mobil pribadi paling berpotensi menciptakan bahaya bagi pengguna jalan yang rentan, terutama pejalan kaki, dan pengguna kendaraan kecil lainnya, yaitu sepeda. Hal yang tidak boleh disepelekan dalam mengelola transportasi kota adalah partisipasi publik dan transparansi. Faktor inilah yang mengusung kesuksesan pengelolaan transportasi publik di Bogota, Kolombia, Amerika Latin. Pengelolaannya begitu masif dalam melibatkan warga kota Bogota dalam menggodog kebijakan yang akan digulirkan. Setelah kebijakan itu jadi dan dioperasikan, publik pun dilibatkan dalam proses pengsawasan (transparansi), sehingga seluruh pergerakan keuangan bisa dipantau secara real time.

Bagaimana dengan busway Trans Jakarta? Sepertinya belum memenuhi aspek ini. Hingga detik ini terbukti managemen keuangan dari Badan Layanan Umum (BLU) Trans Jakarta masih tertutup, tidak bisa diakses oleh siapapun (kecuali oleh pihak yang mempunyai interes). Hingga kini pula tak seorang pun tahu berapa sebenarnya biaya produksi untuk mengangkut penumpang per orang per kilo meternya. Akibatnya, tuntutan kenaikan tarif menjadi tidak relevan diakomodasi sebelum terwujud transparansi dan potret kinerja finansialnya.

Dengan demikian, ide untuk menswastakan (swastanisasi) pengelolaan jasa transportasi (publik) di Jakarta, sebaiknya dimasukkan ke tong sampah saja, jika tidak berbasis pada prinsip-prinsip pengelolaan transportasi yang berkelanjutan tadi. Swastanisasi pengelolaan ttransportasi publik, selain belum tentu berhasil, justru akan merusak sisitem transportasi itu sendiri. Apalagi, di banyak negara, campur tangan negara terhadap pengelolaan transportasi kota, masih dominan diterapkan, terutama dalam kebijakan harga.

Swasta pasti orientasinya adalah bisnis murni, alias mencari keuntungan semata. Orientasi itu hanya bisa diperoleh dengan mengekspolitasi penggunanya, dengan kenaikan tarif . Padahal, jika hanya mengandalkan tarif dari konsumen, maka tidak akan mampu menutup biaya operasional yang memang melangit. Artinya, intervensi Pemerintah DKI Jakarta menjadi keharusan, yakni dengan menggelontorkan subsidi pada moda transportasi publik yang dikelola secara berkelanjutan. Ingat, prinsip kemudahan akses bagi semua pengguna untuk bepergian, keadilan sosial, keberlanjutan ekologis, keselamatan, plus transparansi dan partisipasi publik, adalah solusinya.Jika prinsip ini terus dipinggirkan, kebangkrutan managemen transportasi Jakarta adalah suatu keniscayaan. Sang ahli (Fauzi Bowo) yang nota bene bergelar doktor arsitektur dari negeri seberang (Jerman), seharusnya mampu mengejawantahkan prinsip-prinsip ini. Bagaimana Bang Foke?

Anggota Pengurus Harian Yayayan Lembaga Konsumen Indonesia

Rabu, 06 Agustus 2008

Bongkar Kebijakan Kelistrikan

Presiden Yudhoyono dan Jusuf Kalla seharusnya belum lupa dengan janji yang diusungnya saat kampanye dulu, yaitu ingin memperbaiki kualitas layanan publik (public services). Pada tataran empiris, memperbaiki layanan publik menjadi sesuatu yang amat menjanjikan. Pasalnya, citra buruk layanan public services tak terbantahkan lagi, bahkan merupakan pemicu utama tingginya korupsi di Indonesia. Tampaknya janji itu hanya manis saat kampanye saja, kendati usia politik SBY-JK tinggal beberapa jengkal lagi, wajah public services nyaris tidak mengalami perubahan bermakna. Alih-alih malah mengalami kemerosotan hingga ke titik nadir.

Ambruknya kinerja sektor ketenagalistrikan dengan wujud pemadaman bergilir yang kini mendera konsumen listrik di seluruh Indonesia, termasuk Jakarta, adalah indikator paling konkrit betapa kedodorannya layanan public services paling vital di negeri ini. Namun, aneh bin ajaib, ketika konsumen begitu sengsara akibat pemadaman ini, tak ada satu pun institusi yang secara jantan bertanggung jawab. Pemerintah dan PT PLN saling lempar batu sembunyi tangan. Kedua institusi ini hanya pintar merayu masyarakat agar bisa memahami keadaan. Berbagai alasan klise pun disampaikan; mesin pembangkit rusaklah, cuaca buruklah, hingga kekurangan pasokan bahan bakar oleh pihak ketiga. Politik pengelolaan energi nasional yang amburadul dan kebijakan pentarifan yang tidak berkesinambungan, disembunyikan dalam ketiak birokrat dan petinggi PLN.

Bagaimana sih sejatinya peta persoalan ketenagalistrikan di Indonesia saat ini?
Penyakit kronis ketenagalistrikan saat ini menjalar ke semua lapis; lapis hulu (pembangkitan) hingga lapis hilir, berupa kebijakan pentarifan. Pembangunan mesin pembangkit berjalan tertatih-tatih (hanya 1 persen), tidak sebanding dengan permintaan kebutuhan listrik, yang mencapai 9 persen per tahun. Selain itu krisis pembangkitan terjadi karena masih tingginya penggunaan bahan bakar minyak (solar). Faktor inilah yang menjadi benalu kinerja finansial PLN, karena 70 persen biaya operasionalnya terkuras untuk membakar minyak. Fenomena semacam ini paradoks dengan roadmap Pemerintah, yaitu minimalisasi penggunaaan bahan bakar minyak pada mesin pembangkit. Sebab, sejak 10 tahun terakhir penggunaan bahan bakar minyak malah mengalami kenaikan amat tajam. Lihat saja, jika pada 1997 penggunaannya hanya 21 persen, tetapi mulai 2005 penggunaan bahan bakar minyak naik menjadi 30 persen (sekitar 10 juta kilo liter). Target pada 2010 penggunaan bahan bakar minyak hanya 5 persen, sepertinya mustahil.

Tetapi, kegagalan ini bukan semata-mata milik PLN ansich. Pasokan bahan bakar, amat bergantung pada bagaimana politik pengelolaan energi primer oleh Pemerintah. Bahkan PLN sebagai pengguna sering menjadi ‘pesakitan’ atas kebijakan energi primer. Gas dan batubara justru untuk komoditas ekspor, sementara puluhan pembangkit PLN megap-megap kekurangan gas dan batubara. Akhirnya, ya, pembangkitnya pun digelontori minyak yang harganya terus melangit. Itulah inti persoalan (lapis hulu) yang kini membelit sektor ketenagalistrikan. Padahal, listrik yang dibangkitkan dengan minyak harganya bak menyundul langit dibandingkan dengan energi listrik yang dibangkitkan dengan batubara atau gas. Cukup Rp 300 per kWh jika bahan bakarnya gas, sementara jika menggunakan high speed diesel (solar) diperlukan minimal Rp 1.500.

Permasalahan makin ruwet manakala tingginya Biaya Pokok Penyediaan (BPP) di satu sisi, dan begitu rendahnya harga jual listrik pada konsumen, di sisi yang lain. Lihat saja, rata-rata untuk menghasilkan 1 (satu) kilo watt jam listrik (kWh) BPP-nya minimal mencapai Rp 1.900. Tetapi, ketika energi listrik itu dijual kepada konsumen harganya rata-rata cuma Rp 600 per kWh. Padahal, semua komoditas bahan bakar harus dibeli dengan harga pasar. Memang, ini isu yang amat sensitif, karena ujung-ujungnya harus bicara soal besaran tarif dasar listrik. Namun demikian, tetap harus ada benchmarking tariff, yang secara internasional parameternya adalah “cent US $ per kWh”. Sebagai bahan perbandingan, berikut contoh tarif listrik di negara lain, misalnya : Thailand (7,22), Singapura (13,87), Jepang, (11,70), Korea Selatan (6,50), Australia (6,09), Amerika Serikat (10,38), Belanda (25,80), Inggris (18,64), India (4,01), dan Afrika Selatan 5,92. India dan Afrika Selatan tarif listriknya begitu murah karena dijadikan komoditas politik (domestic strategy) oleh rezim yang berkuasa.

Bagaimana dengan tarif listrik di Indonesia? Sepertinya tergolong rendah, karena masih pada kisaran 5,8 cent US $ per kWh. Padahal basis utama operasional mesin pembangkitnya menggunakan bahan bakar minyak. Sejak Oktober 2003, tarif dasar listrik belum pernah mengalami perubahan.

Dengan konfigurasi permasalahan ketenagalistrikan yang begitu terang benderang, rasanya mustahil jika tidak ada ‘pembongkaran’ (restrukturisasi) kebijakan di bidang ketenagalistrikan secara radikal, baik pada lapis pembangkitan maupun pentarifan. Restrukturisasi di bidang pentarifan tidak harus dimaknai dengan menaikkan tarif, tetapi seharusnya dimaknai dengan langkah simulasi kebijakan yang mendasar, seperti :

Pertama, menurunkan biaya pokok penyediaan (BPP). Hal ini mendesak dilakukan karena penyebab utama tingginya BPP adalah dominannya penggunaan bahan bakar minyak di mesin pembangkit, yang mencapai 35% dari total penggunan bahan bakar. Akibatnya, pendapatan PLN, 70 persen tersedot untuk membakar minyak.

Kedua, audit kinerja pembangkit, khususnya pembangkit besar yang terbukti bermasalah, misalnya PLTU Cilacap. Kenapa mesin pembangkit di Cilacap yang baru seumur jagung sudah batuk-batuk? Harus ada rekonstrtuksi dari proses tender, bahkan KPK pun bisa turut ambil bagian dalam kasus PLTU Cilacap ini. Sebab fenomena ‘cincainya’ sangat kentara.

Ketiga, menerapkan tarif regional. Kebijakan ini bisa ditempuh, dengan asumsi, bahwa secara sosial ekonomi kemampuan masyarakat amat mencolok. Ada yang surplus (seperti Jakarta), tetapi ada juga yang minus, misalnya Nusa Tenggara Timur. Dari sisi keadilan, kebijakan penyamarataan besaran tarif justru layak dipersoalkan. Bagaimana mungkin orang NTT tarif listriknya sama dengan orang Jakarta, sementara income mereka bedanya bak bumi dan langit? Lagi pula secara normatif, tarif regional mempunyai sandaran cukup absah. UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah mengisyaratkan hal itu, bahwa suatu daerah otonom dapat menyepakati layanan ketenagalistrikan yang berbeda dalam hal kuantitas dan kualitas layanan serta harga. Bahkan, Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2005--yang merupakan aturan turunan UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, juga memberikan legitimasi serupa, bahwa PT PLN bisa menerapkan tarif regional pada entitas terpisah, melalui sebuah anak perusahaan.

Ketiga simulasi kebijakan itu seharusnya bersinergi dengan langkah lain, misalnya melakukan demand side management pada sisi konsumen. Mau tidak mau konsumen harus ‘terlibat’ dalam krisis ini, salah satunya berhemat listrik. Asumsikan saja, jika 28 juta konsumen di Jawa-Bali bisa berhemat hingga 60 watt saat beban puncak, maka akan mengurangi daya sebesar : 60 watt x 28 juta = 1.680 MW (setara dengan pembangkit Paiton). Namun, untuk membangkitkan ghiroh semacam ini bukan pekerjaan gampang, di tengah perilaku konsumen listrik yang cenderung boros.

Perombakan kebijakan ketenagalistrikan tidak bisa berjalan parsial. Antara lapis hulu dengan lapis hilir harus saling bersinergi secara simultan. Pemerintah tidak bisa seenaknya merestrukturisasi dari sisi hilirnya saja (kebijakan pentarifan), tetapi tidak menyentuh pada sisi pembangkitan. Jika kedua hal ini tidak ditempuh, kiamat ketenagalistrikan di Indonesia tinggal menunggu waktu saja. ***

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI

Ketetrangan : Pernah dimuat di Koran Jakarta, edisi Selasa, 05/08/08