Selasa, 05 Januari 2010

Mengatasi Keterpasungan Konsumen Listrik

Entah program seratus hari macam apakah yang sejatinya dikehendaki oleh Presiden Yudhoyono, manakala bukan potret kesejahteraan yang ditawarkan, melainkan suatu kondisi kenestapaan dan kemeranaan? Setidaknya itulah yang dialami oleh mayoritas konsumen listrik di seantero negeri. Krisis listrik yang semula berjangkit di pinggiran Indonesia, kini penyakit itu telah menjalar ke sistem ketenagalistrikan Pulau Jawa-Bali, yang konon paling andal di negeri ini. Bahkan Ibu Kota Jakarta pun tak luput dari terpaan penyakit krisis listrik. Biarpetnya aliran listrik bukan semata memadamkan lampu-lampu dan aktivitas domestik rumah tangga; tetapi juga mengindikasikan suramnya sektor ekonomi makro. Bagaimana mungkin sektor ini bisa bertumbuh dengan memadai, jika energi listrik sebagai infrastruktur kondisinya bak orang yang berpenyakit asma? Manajemen PT PLN boleh saja 'berkokok' bahwa dirinya tidak cukup mempunyai fulus untuk sekadar membeli trafo gardu induk. Presiden Yudhoyono pun tidak dilarang untuk gundah gulana.

Namun, di manakah sejatinya letak hak-hak normatif konsumen listrik akibat pemadaman ini? Selisik punya selisik, ternyata perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen listrik sejatinya cukup kuat. Setidaknya, ada tiga undang-undang yang secara komprehensif memayungi hak konsumen listrik di Indonesia. Belum lagi yang terserak pada aturan teknis lainnya, seperti keppres dan SK dirjen. Ketiga UU itu adalah UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (sebagai revisi atas UU No 15/1985), UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dan tentunya UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Secara tegas UU Ketenagalistrikan menyebutkan pemegang izin usaha ketenagalistrikan wajib menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar mutu dan keandalan secara terus-menerus, memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya dan memperhatikan hak-hak konsumen (Pasal 39). Listrik sebagai infrastruktur juga diikat oleh UU Pelayanan Publik, yang menyebutkan penyedia pelayanan publik harus membuat standar pelayanan yang dan memaklumatkan standar pelayanan itu dengan jelas dan terukur. Bahkan, UU ini juga mengamanatkan penyedia pelayanan publik harus membuat mekanisme pengaduan bagi konsumen.

Lantas, jika berbicara hak, UUPK menggariskan konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan saat menggunakan suatu barang dan atau jasa. Konsumen pun berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur (Pasal 4). Bahkan, UUPK juga mengamanatkan adanya kompensasi dan ganti rugi bagi konsumen atas ketidakpuasan/kerugian yang dialami saat menggunakan produk barang dan/atau jasa. Rasanya, dengan bersandar pada ketiga UU ini, sudah amat konkret hak-hak konsumen listrik diakomodasi. Tetapi, sudahkah manajemen PT PLN dan pemerintah konsisten mengimplementasikan ketentuan tersebut? Rasanya masih jauh panggang dari api. Mengapa?

Pertama, manajemen PT PLN dan pemerintah tidak transparan dan informatif, bahkan tidak jujur dan banyak hal yang ditutupi atas permasalahan terjadi. Model komunikasi semacam ini justru tidak mendidik, bahkan berpotensi mengelabui konsumen. Misalnya, Menteri ESDM dan Menteri BUMN menjanjikan awal Desember 2009, dijamin tidak ada pemadaman bergilir lagi di wilayah Jabodetabek. Jaminan semacam itu sangat tidak berdasar. Mengapa? Karena semua trafo gardu induk di wilayah Jabodetabek dalam posisi overloaded dan PT PLN pun tidak mempunyai cadangannya. Artinya, potensi untuk terjadinya ledakan serupa sangat besar. Ketika jaminan dua menteri itu penulis tanyakan kepada salah seorang teman di PT PLN, dijawab begini, "Pemadaman bergilir memang tidak ada, yang ada hanyalah penyalaan bergilir." Kedua, manajemen PT PLN dan pemerintah sangat tidak memadai dalam memberikan kompensasi. Apalah artinya kompensasi 10% dari biaya abonemen? Selain sangat tidak seimbang dengan kerugian yang dialami konsumen, ganti rugi semacam itu sama artinya menyamakan konsumen listrik dengan 'pak ogah' dan pengamen jalanan. Pasalnya, 10% dari biaya abonemen, artinya hanya Rp1.500 (seribu lima ratus rupiah!), kalau daya listrik yang terpasang hanya 450 VA (volt ampere). Atau hanya Rp4.000 kalau daya listrik yang terpasang 1.300 VA. Tetapi, tunggu dulu, itu baru kompensasinya saja (kendati nyaris tidak berarti). Dus, manajemen PT PLN belum memberikan ganti rugi sebagaimana diperintahkan oleh UU Perlindungan Konsumen, yang mensyaratkan konsumen berhak atas ganti rugi, bukan hanya kompensasi (kompensasi dengan ganti rugi adalah dua hal yang berbeda).

Namun, jika menilik pada kompleksitas persoalan, rasanya tidak cukup elok kalau hanya membebankan tanggung jawab ini ke pundak manajemen PT PLN. Pada tataran manajerial, benar, manajemen PT PLN layak dimintai pertanggungjawaban. Tetapi, pada tataran kebijakan, pemerintahlah yang musti bertanggung jawab atas karut-marutnya sektor ketenagalistrikan saat ini. Jikalau langkah hukum (misalnya gugatan class action) akan dilakukan untuk merebut hak-hak konsumen listrik yang terampas, kedua institusi itu harus dimintai pertanggungjawaban secara tanggung renteng. Bahkan, sangat boleh jadi tanggung jawab pemerintah jauh lebih besar jika dibandingkan dengan tanggung jawab manajemen PT PLN. Sebab, faktanya, persoalan yang menyerimpung sektor ketenagalistrikan saat ini lebih banyak dipicu oleh persoalan hulu, bukan persoalan hilir.

Penanggung jawab persoalan hulu adalah pemerintah! Maka, jika 'kiamat' ketenagalistrikan ini tidak ingin kian parah, seyogianya manajemen PT PLN dan pemerintah mengambil langkah konkret, baik yang sifatnya preventif maupun kuratif. Tindakan preventif janganlah ada manipulasi data, fakta dan informasi kepada konsumen. Sodorkan informasi yang cerdas dan faktual kepada konsumen sehingga konsumen listrik turut berempati dengan permasalahan ini. Informasi yang manipulatif dan simpang siur, hanya akan membuat konsumen geregetan, bahkan bukan hal yang tidak mungkin melakukan tindakan anarkistis dan vandalistis terhadap infrastruktur PT PLN. Manajemen PT PLN juga seyogianya mengubah kontrak perjanjian jual beli dengan konsumen, yang terbukti sangat tidak adil bagi kepentingan konsumen. Bahkan, kontrak perjanjian semacam itu secara diametral bertabrakan dengan UU Perlindungan Konsumen (karena mengusung 'klausul baku').

Dari sisi kebijakan, pemerintah seharusnya konsisten dengan kebijakan energi primernya. Janganlah manajemen PT PLN diminta ('ditekan') untuk mengurangi konsumsi bahan bakar minyak pada mesin pembangkitnya, tapi pasokan gas dan batu bara nasional tidak ada karena diekspor. Rasanya sulit bagi masyarakat untuk memberikan 'stempel keberhasilan' pada kinerja Presiden Yudhoyono dengan program 100 harinya, jika hak-hak masyarakat konsumen listrik di Indonesia justru terpasung oleh pasokan listrik yang nyaris sekarat ini.

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI

(Tulisan ini pernah dimuat oleh Media Indonesia, 26 Nopember 2009)

Senin, 01 Juni 2009

Melindungi Petani Tembakau

Tak ada komoditas yang paling dipuja dan disembah di se antero negeri ini, selain tembakau. Produk ini disakralkan begitu rupa, bak dewa saja. Tak hanya oleh Pemerintah, tetapi juga masyarakat luas, termasuk media masa. Tak heran jika komoditas ini dianggap “juru selamat” atas ekonomi nasional, yang hingga kini masih lesu darah.

Saat krisis ekonomi 1997, industri rokok yang masih menangguk untung. Kini di tengah hantaman krisis ekonomi global, posisi orang terkaya di Indonesia pun masih ‘dikangkangi’ oleh taipan perusahaan rokok. Tidaklah aneh jika isu pengendalian tembakau (tobacco control) di negeri ini selalu termarginalisasikan. Pengendalian tembakau acap menjadi kambing hitam atas isu bangkrutnya industri rokok yang mengakibatkan PHK masal, plus akan menggulung eksistensi petani tembakau.

Tudingan semacam itu jelas hanya isapan jempol, didramatisasi dan kental suasana politicking-nya. Tak ada fakta, baik secara akademis dan atau empiris, bahwa pengendalian tembakau mengakibatkan “kiamat ekonomi” bagi suatu negeri.

Mau bukti? Hasil kajian Lembaga Demografi Universitas Indonesia (2008) telah membongkar tabir yang sesungguhnya, bahwa kontribusi ekonomi industri tembakau tidaklah signifikan, bahkan sangat kecil. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), industri tembakau bukan penyerap tenaga kerja besar di tingkat nasional. Bahkan, industri ini hanya menduduki peringkat 48 dari 66 sektor yang berkontribusi pada penyerapan tenaga kerja. Fakta juga menunjukkan, industri rokok berkontribusi kurang dari 1 persen terhadap total tenaga kerja nasional sejak tahun 1970-an, hingga kini (bandingkan, misalnya dengan sektor jasa konstruksi yang berkontribusi 5,4%, atau sektor pertambangan yang berkontribusi 4,6 persen). Tren menurunnya penyerapan tenaga kerja akan terus terjadi, karena industri rokok melakukan mekanisasi. Jutaan buruh, yang mayoritas perempuan, secara perlahan tapi pasti akan diganti dengan mesin-mesin canggih. Janji PT Philip Morris Internasional saat mengakuisisi 94 persen saham PT HM Sampoerna, untuk tidak melakukan mekanisasi, juga diingkari.

Bagaimana pula dengan kontribusi pertanian tembakau dan nasib petani tembakau itu sendiri?
Lagi-lagi, masih mengutip hasil kajian Lembaga Demografi UI dan BPS, jumlah petani tembakau tidaklah signifikan, karena hanya 1,6 persen (684.000) dari jumlah tenaga kerja sektor pertanian dan 0,7 persen dari jumlah seluruh tenaga kerja di Indonesia. Klaim Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) bahwa petani tembakau di Indonesia berjumlah 22 juta orang, adalah bohong belaka. Dari jumlah yang tidak signifikan itu pun, kondisi sosial ekonomi petani tembakau juga tidak menggembirakan, bahkan mengenaskan. Misalnya, 69% petani tembakau hanya tamat SD atau bahkan tidak sekolah sama sekali, 58% rumahnya masih berlantai tanah (istilah normatifnya pra sejahtera). Bagaimana dengan penghasilannyas? Juga kurang memenuhi standar kehidupan yang layak, karena ternyata rata-rata upah petani tembakau hanyalah 47% dari rata-rata upah nasional (Rp 413.374 per bulan). Bahkan, jika pun dibandingkan dengan pertanian yang lain, upah petani tembakau hanya separuh dari upah petani tebu.

Selain itu, petani tembakau nyaris tidak mempunyai posisi tawar saat berhadapan dengan industri rokok, sebagai pembeli tunggal produk daun tembakau. Harga dan kualitas daun tembakau 100% ditentukan oleh pihak industri rokok. Mereka mempunyai grader yang bertugas menentukan grade dari daun tembakau, yaitu ditera sesuai dengan penilaian masing-masing grader dari perusahaaan rokok. Konyolnya, hasil grader tidak diketahui oleh petani tembakau. “...ada 40 tingkatan kualitas dan harga, mulai Rp 500 sampai dengan Rp 25.000 per kg, tergantung letak grade-nya. Petani tidak mengetahui tentang penentuan itu”, demikian kesaksian petani tembakau di Kabupaten Lombok Timur. Wajar jika sejatinya petani tembakau tidak happy dengan profesinya itu, dan, dua dari tiga petani tembakau ingin mencari pekerjaan lain, sebagai pedagang atau berpindah menjadi petani lain, misalnya petani padi.

Jadi, yang membuat petani tembakau sengsara bukanlah faktor pengendalian tembakau, tetapi justru industri rokok itu sendiri. Kalau selama ini petani tembakau menolak RUU Pengendalian Tembakau, sikap semacam itu jelas salah sasaran. Seharusnya, petani tembakau (APTI) melakukan tekanan balik pada industri rokok, yang selama ini menjadikan ‘gedibal’nya. Selain faktor di atas, industri rokok juga mempunyai stok yang melimpah, dan sangat cukup untuk berproduksi dua tahun penuh. Sementara, bagi petani sekali panen tembakaunya tidak dibeli oleh industri rokok, mereka akan collaps. Bahkan industri rokok masih mempunyai kedigdayaan lain yang tiada tara, yaitu mengimpor tembakau. Faktanya, 35% daun tembakau masih didatangkan dari Zimbabwe, untuk memasok kekurangan produksi rokok nasional.

Bersandar pada paparan di atas, rasanya makin terang-benderang, bahwa kita dininabobokkan oleh industri rokok. Sebuah industri yang selama ini begitu didewakan, ternyata tak memberikan kontribusi memadai untuk perekonomian nasional, termasuk dalam hal penyerapan tenaga kerja. Kuantitas dan kualitas kehidupan petani tembakau pun rasanya bak jauh panggang dari api, untuk bisa dikatakan makmur. Tidak masuk akal jika Pemerintah menjadikan industri tembakau sebagai “industri unggulan” hingga 2015. Apanya yang diunggulkan, wong perannya terbukti hanya ecek-ecek?

Jika pun petani tembakau “mati suri”, yang mematikan bukan pengendalian tembakau, apalagi oleh RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau bagi Kesehatan. Tingkah polah industri rokoklah yang terbukti sangat jumawa dalam memperlakukan petani tembakau. Mengharapkan dan mengandalkan petani tembakau untuk berani ‘bernegosiasi” dengan industri rokok sepertinya sulit. Karena itu, jika Pemerintah ingin menyelamatkan petani tembakau dan tidak ingin dituduh bersekongkol dengan industri rokok, Pemerintah seharusnya mengendalikan tata niaga tembakau. Hingga kini nyaris tidak ada pengaturan (kontrol) dari Pemerintah terkait dengan bisnis dan tata niaga tembakau nasional. Penentu tunggal tata niaga komoditas tembakau adalah industri rokok.

Pengendalian tembakau bukanlah momok, apalagi monster bagi eksistensi ekonomi tembakau. Fakta empiris membuktikan hal itu, sekali pun di negara yang permasalahan tembakaunya lebih kompleks dibandingkan Indonesia. Pengendalian tembakau tak akan mampu meruntuhkan empirium bisnis industri rokok yang meraksasa. Seharusnya tidak ada kegamangan bagi Pemerintah untuk mengendalikan produk tembakau dengan membuat produk hukum yang komprehensif. FCTC dan atau RUU Pengendalian Produk Tembakau bagi Kesehatan adalah instrumen paling elegan untuk meretas pengendalian tembakau di negeri ini.

Tulus Abadi,
Anggota Pengurus Harian YLKI, Peserta 14th World Congres Tobacco or Health, Mumbai, India.

(Tulisan ini pernah dimuat oleh Koran Jakarta, edisi Sabtu, 23 Mei 2009)

Tembakau dan Malnutrisi

Penyakit sosial yang bernama kemiskinan, hingga kini masih menjadi fakta yang tak terbantahkan di negeri ini. Menteri Sosial, Bachtiar Chamsah, menyebutkan tidak kurang dari 36,1 persen penduduk Indonesia kini hidup di bawah garis kemiskinan, bahkan 14,5 juta diantaranya berstatus sebagai fakir miskin. Terlepas sahih atau tidak data yang dilansir Mensos tersebut, kemiskinan sering dimaknai sebagai masyarakat yang berpenghasilan rendah, atau bahkan tidak berpenghasilan sama-sekali. Bank Dunia, misalnya, memberikan standar bahwa orang miskin adalah orang yang berpenghasilan kurang dari 2 US$ per hari.

Sah-sah saja kemiskinan dimaknai sebagai orang yang minim penghasilan. Namun demikian, fenomena kemiskinan seyogyanya dilihat dengan perspektif yang meluas dan kontekstual. Misalnya, benarkah mereka memang miskin atau dimiskinkan, atau, mereka hanya salah dalam mengalokasikan pendapatannya, sehingga menjadi miskin?

Karena itu, sangat relevan jika fenomena penyebab kemiskinan di Indonesia dikaitkan dengan perilaku masyarakat dalam mengonsumsi tembakau/rokok. Hal ini, karena, baik pada masyarakat miskin perdesaan maupun perkotaan, konsumsi tembakaunya amat tinggi. Berikut gambarannya.

Kini konsumsi rokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga dunia, setelah China dan India (semula nomor 5). Tidak heran jika lebih dari 60 juta orang membelanjakan uangnya untuk membeli rokok. Mereka rata-rata menghabiskan 11 batang rokok per hari. Secara nasional, belanja bulanan untuk rokok pada keluarga perokok menempati urutan terbesar kedua (9%) setelah beras, 12%. Lebih nggegirisi lagi, menurut Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) 2006, kelompok keluarga termiskin terbukti mempunyai proporsi belanja rokok yang lebih besar (12%) daripada kelompok terkaya yang hanya 7%. Data lebih konkrit menunjukkan, belanja bulanan rokok pada keluarga termiskin pada 2006 setara dengan 15 kali biaya pendidikan dan 9 kali biaya kesehatan. Dibandingkan dengan pengeluaran makanan bergizi, jumlah tersebut setara dengan 17 kali pengeluaran untuk membeli daging, 2 kali lipat untuk membeli ikan, dan 5 kali lipat untuk membeli telur dan susu.

Sebuah survei lain yang dilakukan selama 1999-2003 pada lebih dari 175.000 keluarga miskin di perkotaan di Indonesia menunjukkan, 3 dari 4 kepala keluarga (78,8%) adalah perokok aktif. Belanja mingguan untuk membeli rokok menempati peringkat tertinggi (22%), jauh lebih besar daripada untuk pengeluaran makanan pokok (beras), yang hanya 19%. Sementara pengeluaran untuk telur dan ikan masing-masing hanya 3% dan 4%.

Padahal, terkuak dengan jelas bahwa perilaku merokok kepala rumah tangga berhubungan secara bermakna dengan gizi buruk, yaitu prevalensi anak sangat kurus (severe wasting) 1%, berat badan sangat rendah (severe underweight) 6,3% dan anak sangat pendek (severe stanting) 7,0%. Belanja rokok telah menggeser kebutuhan terhadap makanan bergizi yang esensial untuk tumbuh kembang balita. Studi sejenis pada 2000-2003 pada lebih dari 360.000 rumah tangga miskin di perkotaan dan perdesaan membuktikan kematian bayi dan balita lebih tinggi pada keluarga yang orang tuanya merokok daripada yang tidak merokok.
Dengan begitu tingginya perilaku merokok pada rumah tangga miskin, maka risiko kematian populasi balita dari keluarga perokok berkisar antara 14% di perkotaan, dan 24% di perdesaan. Atau 1 dari 5 kematian balita berhubungan dengan perilaku merokok orang tuanya. Dengan angka kematian balita sebesar 162 ribu per tahun (Unicef 2006), maka konsumsi rokok pada keluarga miskin menyumbang 32.400 kematian setiap tahun atau hampir 90 kematian balita setiap hari.

Bagaimana keterkaitan konsumsi rokok dengan efektivitas dana Bantuan Langsung Tunai (BLT)?

Saat ini terdapat 19 juta kepala keluarga miskin penerima dana BLT. Dengan prevalensi perokok penduduk miskin laki-laki dewasa sebesar 63%, diperkirakan terdapat sekitar 2/3 adalah kepala keluarga perokok. Dengan kata lain, 12 juta kepala keluarga miskin menggunakan dana BLT untuk membeli rokok. Hasil Susenas 2006 menunjukkan rata-rata pengeluaran rokok pada keluarga perokok adalah sebesar Rp 117 ribu per bulan dan pada keluarga miskin sebesar Rp 52 ribu. Artinya, lebih dari separo dana BLT dihabiskan untuk membeli rokok!

***
Bersandar pada konfigurasi data dan fakta di atas, teramat gamblang, bahwa terdapat hubungan erat antara konsumsi tembakau, kemiskinan, dan bahkan malnutrisi. Fenomena ini jelas sangat ironis, dan paradoks. Masyarakat miskin, dengan income yang sangat terbatas, masih salah pula dalam membelanjakan pendapatannya. Jika fenomena ini terus dibiarkan, tanpa adanya sentuhan kebijakan yang konkrit dan menyeluruh, sangat boleh jadi wabah kemanusiaan ini akan mengalami eskalasi yang tak terbendung. Target Indonesia Sehat 2010 atau pencapaian MDG’s akan sangat musykil, mitos belaka.
Tetapi, kita tidak bisa begitu saja menyalahkan perilaku masyarakat miskin ini. Sebab, mereka hanyalah korban atas ketidakmengertian dan ketiadaan kebijakan yang melindunginya. Jadi, jika Pemerintah memang berniat mengentaskan mereka dari kungkungan kemiskinan, tidak ada cara yang paling strategis selain bagaimana Pemerintah memotong mata rantai ketergantungan masyarakat miskin terhadap tembakau. Sebaliknya, adalah tidak masuk akal kalau tembakau dijadikan instrumen untuk mengentaskan kemiskinan. Justru tembakaulah penyebab kemiskinan, malnutrisi dan lost generation! Efek jangka panjang terhadap ini semua adalah buruknya kualitas pembangunan sumber daya manusia : prestasi sekolah yang buruk, lemahnya kapasitas intelektual dan kemampuan kerja.
Peta jalan untuk melakukan perubahan tidaklah sulit. Naikkan saja cukai rokok secara signifikan. Saat ini cukai dan harga rokok di Indonesia terendah di dunia, setelah Kambodia. Cukai rokok kita hanya 38% dari harga retail, sementara rata-rata dunia sudah di atas 60%. Dengan cukai rendah, akibatnya rokok mudah diakses oleh siapa pun, terutama masyarakat miskin, anak-anak dan remaja. Iklan dan promosi rokok yang bergentayangan di semua lini, juga merupakan ketidaklaziman yang terus dipelihara. Rokok adalah produk adiktif, tanpa diiklankan pun akan diburu penggunannya. Lha, ini kok masih diiklankan dan dipromosikan secara masif pula? Indonesia adalah satu-satunya negara—setelah Zimbabwe, yang masih menayangkan iklan rokok di televisi. Selebihnya, larangan penjualan secara ketengan, dan peringatan kesehatan berupa gambar, juga menjadi poin kebijakan yang harus digulirkan.

Untuk menerobos peta jalan tersebut, Pemerintah Indonesia musti melakukan lompatan besar di bidang regulasi. Ratifikasi/aksesi Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) atau membuat RUU Pengendalian Dampak Tembakau bagi Kesehatan, adalah solusi yang paling logis, elegan, dan komprehensif. Kini FCTC telah menjadi hukum internasional, 164 negara telah meratifikasinya. Tak cukup alasan bagi Pemerintah untuk mendiamkan FCTC secara terus-menerus, karena Pemerintah Indonesia adalah “negara pihak” yang aktif dalam pembahasan FCTC, bahkan sebagai legal drafter. Jangan biarkan fenomena generasi yang hilang menjadi sebuah kenyataan, hanya karena pembiaran perilaku liar industri rokok!

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI, Delegasi Indonesia pada 14th World Congres Tobacco or Health, Mumbai-India, Maret 2009.
(Tulisan ini pernah dimuat oleh Suara Pembaruan, Kamis, 28 Mei 2008)

Lorong Gelap Pengendalian Tembakau

Bak sebuah gelombang tsunami, perang terhadap bahaya tembakau pada skala global tak bisa dibendung lagi. Produk adiktif ini telah dijadikan public enemy, bukan hanya oleh institusi negara, tetapi juga kalangan masyarakat sipil dunia. Wujud pernyataan perang itu, 164 negara kini telah meratifikasi/mengaksesi Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC). Pada konteks promotif, Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga menjadikan 31 Mei sebagai World No Tobacco Day atau Hari Tanpa Tembakau se-Dunia. Inilah prasasti, betapa pengendalian tembakau telah menjadi concern global.

Lalu, ketika komunitas dunia begitu getol mengurung produk yang mengandung 4.000 racun kimia--40 diantaranya karsinogenik, bagaimana dengan Pemerintah dan masyarakat Indonesia? Jika itu yang kita sandingkan, terdapat perbedaan yang melangit. Mau bukti?

Ketika para pemimpin dunia begitu bangga menyambangi kantor pusat WHO di Jenewa, Swiss untuk meratifikasi FCTC; Presiden Indonesia (SBY) sebaliknya, bangga meresmikan perluasan dan pembukaan pabrik rokok. Dibanggakan, karena industri rokok dipandang ampuh untuk mengentaskan kemiskinan. Sebuah pandangan yang salah-kaprah, bahkan sesat. Justru industri rokok penyebab utama kemiskinan struktural di Indonesia. Terbukti, mayoritas pengguna rokok di Indonesia adalah rumah tangga miskin. Mereka justru lebih banyak membelanjakan pendapatannya untuk konsumsi rokok (12,5%). Ayah dari rumah tangga miskin lebih memilih anaknya hengkang dari sekolah, plus membiarkan balitanya menderita gizi buruk (busung lapar) daripada harus cerai dengan kepulan asap nikotin.

Kiblat paradigma Menteri Kesehatan (Menkes) pun mengalami sesat pikir yang amat parah. Masak seorang Menkes mengatakan, “Wah, gimana ya...rokok memang memberikan cukai yang sangat besar...”. Atau, dalam suatu diskusi, Menkes juga melontarkan opini yang menggelikan, “Kalau rokok tidak boleh dijual ketengan, kasihan tukang ojeg, nanti tidak bisa beli rokok”. Sebuah opini yang tak elok meluncur dari mulut seorang Menkes. Kalau Menkes saja sok populis ngurusi cukai, lalu siapa lagi yang mengawal aspek kesehatannya? Pantas jika Menkes tidak memasukkan larangan merokok pada Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), yang gencar dikampanyekan.

Apalagi Fahmi Idris yang Menteri Perindustrian itu, kebenciannya terhadap FCTC dan segala bentuk regulasi pengendalian tembakau mungkin sudah menyundul ubun-ubun. Tak ada jurus yang acap dilontarkan oleh sang Menteri, selain bahwa pengendalian tembakau akan mematikan industri rokok cs. Padahal baik secara faktual maupun akademis, klaim kuno ini mudah dipatahkan. Misalnya, tanpa adanya ratifikasi FCTC pun nasib petani tembakau sudah kembang-kempis. Penyebabnya siapa lagi kalau bukan industri rokok, yang telah menjadikan posisi petani sebagai subordinat yang paling rendah. Petani tembakau tidak mempunyai posisi tawar sedikitpun saat berhadapan dengan industri rokok. Harga dan kualitas daun tembakau, 100 persen ditentukan oleh seorang grader industri rokok. Selain itu, industri rokok tetap bisa berproduksi selama dua tahun penuh, tanpa membeli tembakau milik petani. Sementara, bagi petani, “kiamat ekonomi” tak terhindarkan jika tembakaunya tak laku saat panen tiba. Wajar jika dua dari tiga petani tembakau ingin beralih profesi, misalnya menjadi petani padi atau bahkan pedagang (survei Lembaga Demografi UI).

Politisi Senayan pun sepertinya “masuk angin” untuk menyorongkan RUU Pengendalian Dampak Tembakau bagi Kesehatan. Benar, adalah suatu prestasi jika RUU ini akhirnya bertengger pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2009. Namun, terkait dengan usia produktif anggota DPR yang tinggal seumur jagung--sementara kini belum terbentuk Panitia Khusus, rasanya nasib RUU ini akan deadlock. Anggota DPR periode berikutnya? Ah, boleh jadi malah mendelegitimasi RUU hingga ke titik nadir, atas pesanan industri rokok, tentu. Patut diduga, kenapa DPR terlihat “malas” membahas RUU Pengendalian Dampak Tembakau, karena RUU ini tidak ‘bergizi’. “Wah, ngga ada olinya Mas, gimana mau dibahas...”, gumam salah seorang anggota DPR. Entah guyonan atau sungguhan, tetapi faktanya DPR malah membahas beberapa RUU yang nyaris tidak ada urgensinya, bahkan belum masuk ke dalam Prolegnas sekalipun.

Sikap dan perilaku sebagian besar masyarakat setali tiga uang dengan Pemerintah dan DPR. Masyarakat begitu mengelukan dan mendewakan industri rokok di segala aspek kehidupannya. Bahkan, opini budayawan sekelas W.S. Rendra sekalipun terlihat begitu “norak” pada produk adiktif ini. “Bahaya rokok itu ndak ada buktinya, takhayul...dan imperialis”, begitu kata Si Burung Merak saat menjadi saksi pada sidang gugatan Komisi Nasional Perlindungan Anak di Mahkamah Konstitusi.

Ibu Negara, Ani Yudhoyono, tahun lalu (2008) memang mempersilakan masyarakat sipil--yang terwadahi dalam Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, untuk merayakan World No Tobacco Day di Istana Negara. Saat memberikan sambutan, terlihat Ibu Negara begitu antusias meminta anak-anak Indonesia untuk tidak merokok dan tidak mempercayai isi iklannya. Tetapi, telisik punya telisik, ada “pesan khusus” dari oknum Istana, “Jangan bicara regulasi pengendalian tembakau, apalagi soal FCTC di depan Ibu Ani...”. Walah, wong inti persoalannya disitu kok.
Entah dengan bahasa dan cara apalagi untuk memberikan asupan fakta dan fenomena racun adiktif ini. Semua lini telah terbeli, tidak hanya secara ekonomi tetapi juga ideologi. Sementara permasalahan tembakau di Indonesia begitu menggawat. Kini manusia Indonesia yang mati oleh penyakit akibat rokok mencapai 1.172 orang per hari, atau 427.000 per tahun (WHO, 2008). Ini karena konsumsi rokok kita terus membubung tinggi, rangking ketiga besar di dunia, setelah China dan India (semula nomor lima). Tak kurang dari 265 milyar batang rokok habis dilahap oleh mulut masyarakat, yang mayoritas miskin. Pertumbuhan konsumsi rokok di kalangan remaja dan anak-anak pun tercepat di dunia, yakni 14,5 persen per tahun. Tetapi aneh bin ajaib, peta situasi semacam ini nyaris tidak membersitkan kengerian sedikit pun bagi Pemerintah. Industri rokok justru dijadikan primadona dan diberikan mandat menggenjot produksi setinggi mungkin, hingga 2015.

Hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan perlindungan dari negara atas bahaya tembakau, bak merasuk ke dalam lorong gelap yang tiada berujung. Segelap putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengandaskan gugatan legal standing YLKI dkk melawan Presiden RI dalam kasus FCTC (Perkara No. 204/Pdt.G./PN/JKt.Pst). Bergemingnya Pemerintah terhadap FCTC, adalah bentuk pembiaran yang paling telanjang terhadap warga negaranya. Apalagi Pemerintah Indonesia adalah “negara pihak” yang aktif dalam rangkaian pembahasan FCTC (sebagai legal drafter). Adalah hak warga negara untuk hidup sehat, tanpa terkontaminasi produk tembakau. Pembiaran inilah yang seharusnya dikualifikasi majelis hakim sebagai bentuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan Pemerintah, bukan malah sebaliknya. Nalar sehat macam apakah yang dijadikan pijakan jika industri racun yang amat adiktif ini justru dijadikan “maskot” untuk menyangga ekonomi bangsa?

Tulus Abadi,
Anggota Pengurus Harian YLKI, Delegasi Indonesia pada 14th World Congres Tobacco or Health, Mumbai, India

(Tulisan ini dimuat oleh Koran Tempo, edisi Sabtu, 30 Mei 2009)

Rabu, 11 Februari 2009

Permainan Politik Harga BBM

Dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengahnya. Begitu petatah-petitih itu acap kita dengar. Tampaknya, hal itu relevan dengan kondisi kekinian di tanah air, yakni terkait dengan kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM). Mengapa demikian? Ternyata, pada akhirnya turunnya harga BBM hanya menjadi komoditas politik belaka; baik oleh kubu incumbent (Presiden Yudhoyono) maupun oleh kubu “oposisi” (Megawati). Kubu incumbent mengklaim bahwa turunnya harga BBM merupakan prestasi Presiden Yudhoyono dan Partai Demokrat.

Sementara bagi Megawati, kebijakan Yudhoyono belum berarti apa-apa, karena seharusnya harga BBM bisa dijual lebih murah lagi. Klaim kedua ‘gajah’ itu jelas tidak mencerminkan kondisi empiris yang sebenarnya. Karena, kalau harga BBM turun diklaim sebagai prestasi; demikian juga saat harga BBM naik, artinya juga merupakan kegagalan Presiden Yudhoyono. Sementara naik-turunnya harga BBM semata-mata karena harga minyak mentah dunia yang fluktuatif. Mantan Presiden Megawati juga tidak benar, kalau ingin mengjual BBM dengan ‘murmer’, alias murah meriah.

Setelah dua gajah itu bertarung, lalu siapa lagi yang akan berkorban menjadi sang pelanduk kalau bukan masyarakat konsumen?

Masyarakat konsumen pada titik tertentu hanya menjadi gedibal atas turunnya harga BBM. Sebab hingga kini semua komoditas yang terdampak langsung terhadap harga BBM belum menurunkan harga jualnya. Harga sembako malah cenderung naik, karena faktor cuaca dan buruknya infrastuktur. Bagaimana dengan tarif transportasi, khususnya angkutan umum darat? Ya, tak ada bedanya, alias sami mawon.

Kalangan pengusaha ritail baru akan menurunkan harga minimal satu bulan setelah harga BBM diturunkan. Argumen pengusaha ritail memang lumayan bisa dipahami, sebab faktanya barang pabrikan yang beredar di pasaran adalah hasil produksi dengan komponen harga BBM yng lama. Kini, yang menjadi gunjingan paling seru di tengah masyarakat adalah mengapa tarif angkutan umum (dalam kota), belum juga turun dari singgasananya? Tidak terlalu sulit untuk menjawab pertanyaan ini.

Pertama, formulasi yang ditetapkan Pemerintah memang di lapangan sulit diimplementasikan. Departemen Perhubungan (Dephub), memutuskan penurunan tarif angkutan dalam kota hanya berkisar 3-6 persen. Jika tarif angkotnya antara Rp 2.500 sampai dengan Rp 3.500; maka tarif yang akan turun hanya Rp 200-Rp 300. Jelas saja, kalau turunnya hanya ‘segitu’ ancaman awak angkutan yang akan mengembalikan dengan permen, secara teknis bisa dipahami.

Kedua, Pemerintah sejatinya tidak mempunyai alat kontrol yang kuat. Hal ini terkait dengan managemen transportasi yang amat buruk untuk level perkotaan. Akibatnya, dengan buruknya managemen transportasi itu Pemerintah tidak mampu mengontrol kinerja pengusaha angkutan. Hal ini terlihat, sekalipun pengusaha angkutan membangkang tidak mau menurunkan tarifnya, Dephub (Dishub) tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal, Dephub inilah yang mempunyai mandat sebagai regulator sektor transportasi di Indonesia. Benar, misalnya, Dishub DKI Jakarta akan membuka Posko Pengaduan tarif di masing-masing terminal. Jika terdapat pengaduan tarif yang tidak turun (atas lamporan konsumen), Dishub akan segera mencabut ijin trayek angkutan tersebut. Pertanyaannya, seberapa kuat Dishub membuka Posko ini? Dan, kalau hanya di terminal, bagaimana dengan konsumen tujuan akhirnya tidak sampai terminal, tetapi dilanggar haknya oleh awak angkutan? Posko ini terkesan hanya formalistik belaka.

Ketiga, sebagai entitas ekonomi, pengusaha angkutan, baik yang terwadahi oleh Organisasi Angkutan Darat (Organda) atau tidak, terlihat kurang mempunyai itikad baik dalam menjalankan usahanya. Sebab, ketika pemerintah menurunkan dengan kisaran Rp 200-Rp 300, mereka mengancam akan mengembalikan dengan permen, dengan alasan sulit mencari uang pecahan ratusan. Namun, ketika Pemerintah menurunkan hingga Rp 500—seperti Pemprov DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bogor, mereka menolak dan akan berhenti operasi, alias mogok. Lah, lalu maunya apa?

Sejatinya yang mendesak bagi masyarakat adalah bukan sekadar tarif transportasi, tetapi, bagaimana agar belanja transportasi masyarakat juga mengalami penurunan. Sebab, selama ini yang menjadi beban berat adalah belanja transportasi itu sendiri. Bayangkan saja, kini tidak kurang 30 persen pendapatan masyarakat tersedot habis untuk keperluan biaya transportasi, per bulannya. Sementara, yang menjadi faktor tingginya belanja masyarakat untuk sektor transportasi bukanlah tarif transportasi itu sendiri. Sangat boleh jadi tarif transportasinya terbilang murah. Tetapi persoalannya, berapa rupiahkah total pengeluaran masyarakat untuk mobilitas dirinya?

Melihat fenomena yang demikian, adalah paradoks ketika Presiden Yudhoyono menginginkan bahwa turunnya harga BBM akan mampu menggerakkan sektor riil dan belanja masyarakat juga mengalami peningkatan. Harapan itu sepertinya bak jauh panggang dari api. Terbukti, hampir di semua sektor belum menampakkan akan menurunkan tarifnya.

Terkait dengan sektor transportasi, yang mendesak untuk dibenahi bukan saja menurunkan tarifnya saja. Tetapi, kebijakan pentarifannya itu sendiri. Misalnya, idealnya indikator tarif angkutan kota bukan hanya menggunakan harga BBM saja. Sebagaimana tarif AKAP (Antar Kota Antar Provinsi), seharusnya angkutan dalam kota juga dievaluasi secara periodik, misalnya 6 (enam) bulan sekali. Sebab, jika hanya bersandar pada kebijakan harga BBM, selain kurang fair, rasanya akan sulit bagi sektor transportasi kalau mengikuti irama harga BBM yang bisa turun-naik setiap saat.

Masalah kacaunya sistem rute/trayek, dan tingginya pungli juga menjadi hal mendesak untuk segera dituntaskan. Rute dan trayek yang tumpang tindih, selain menyebabkan ongkos kemahalan bagi konsumen pengguna jasa transportasi, juga menyebabkan persaingan antar awak angkutan tidak sehat. Antar pengemudi malah saling ‘membunuh’, rebutan penumpang, dengan mengorbankan aspek keselamatan. Demikian juga dengan pungli di sektor transportasi, yang faktanya memang sangat menggerogoti kinerja sektor transportasi. Saat ini pungli di sektor transportasi mencapai Rp 17 trilyun per tahun. Dampak tingginya pungli bukan saja dialami oleh pengusaha angkutan saja, tapi juga konsumen. Biaya yang digelontorkan untuk membayar pungli jelas dibebankan kepada konsumen. Pada akhirnya konsumen yang harus menanggung pungli itu.

Menurunkan harga BBM adalah kebijakan yang patut dihargai, apalagi di tengah hantaman krisis global yang melanda saat ini. Namun, Pemerintah juga harus melakukan evaluasi total manakala kebijakan tersebut tidak menetes ke masyarakat secara keseluruhan. Sebab, ketika harga BBM turun tapi kemudian harga-harga yang lain tidak turun, maka bisa disimpulkan bahwa secara sistemik ada sesuatu yang keliru, baik pada tataran implementasi, atau bahkan pada tataran kebijakan makro. Akibatnya, jangan heran jika yang menikmati turunnya harga BBM hanyalah kelas menengah belaka. Yaitu masyarakat yang berkendaraan pribadi. Atau, jangan-jangan bahwa peruntukkan menurunkan harga BBM memang hanya untuk ‘mendiamkan’ kelas menengah saja, agar tidak ‘cerewet’ dan ngerecokin Presiden Yudhoyono? Sangat ironis jika persoalan harga BBM masih dijadikan komoditas politik jangka pendek.

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI.

Tulisan ini telah dimuat oleh harian Koran Jakarta, awal Februari 09.

Kamis, 22 Januari 2009

Menyoal Kebijakan Harga BBM

Menyoal Kebijakan Harga BBM

Krisis global yang kini melanda negeri Abang Sam dan sebagian besar -negara di Eropa, tak selamanya membawa petaka bagi negeri lain. Krisis global justru melahirkan winfall profit, yaitu turunnya harga minyak mentah dunia. Bayangkan saja, kini harga minyak mentah dunia duduk manis pada kisaran 40 dolar Amerika Serikat (AS) per barel. Padahal, sebelumnya harga minyak begitu jumawa, lebih dari 100 dolar AS per barel. Dengan harga yang menyundul langit semacam itu, negara manapun pasti akan dibuat liuer (pusing).

Sebaliknya, saat harga minyak mentah dunia ambruk hingga kisaran 40 dolar AS per barel, mayoritas warga dunia bertempik-sorak. Tak terkecuali dengan masyarakat dan Pemerintah Indonesia, Presiden Yudhoyono. Wujud kegembiraan Presiden Yudhoyono terejawantahkan dalam bentuk turunnya harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri, khususnya premium dan solar. Terhitung sudah dua kali Presiden Yudhoyono menurunkan harga BBM, dan konon medio Januari harganya akan diamputasi lagi. Wah ciamik nian?

Memang, melemahnya harga minyak mentah dunia dan juga turunnya harga BBM di dalam negeri, patut diapresiasi. Namun demikian, sejatinya ada sesuatu yang seharusnya kita khawatirkan bersama. Bahkan, pada batas tertentu, kebijakan Presiden Yudhoyono menurunkan harga BBM di dalam negeri tak urung merupakan sesuatu yang “membahayakan”. Mengapa?

Pertama, bertabrakan dengan politik pengelolaan energi yang berkelanjutan. Acap kita dengar, selain dilanda krisis global, bumi kita kini juga mengalami pemanasan global. Nah, salah satu pemicu utama terjadinya pemanasan global adalah tingginya penggunaan bahan bakar minyak (yang basisnya adalah fosil), seoerti premium, solar, dan gas elpiji. Turunnya harga BBM di dalam negeri hanya akan melanggengkan perilaku boros bagi sebagian besar masyarakat. Harus diakui, hingga saat ini mayoritas pengguna BBM di Indonesia adalah bukan pengguna cerdas. Selain itu, murahnya harga BBM akan mengakibatkan Pemerintah malas mengembangkan bahan bakar non fosil yang jmlahnya sangat melimpah di negeri ini. Contoh, pengembangan tanaman jarak yang dulu pernah diagungkan, kini melempem tak ketahuan juntrungannya. Pemerintah dan juga masyarakat justru makin asyik berkelon dengan murah meriahnya harga BBM. Padahal, pasokan minyak bumi kita tidaklah seberapa (hanya 50 barrel per kapita), jika dibandingkan dengan cadangan minyak bumi dunia. Bahkan kita pun kini berposisi sebagai nett importer.

Kedua, menurunkan harga BBM secara diametral juga bertentangan dengan politik pengelolaam transportasi yang berkelanjutan. Lo, dimanakah logikanya? Harga BBM murah merupakan instrumen paling efektif (‘karpet merah’) bagi masyarakat kaya untuk membeli dan menggunakan kendaraan pribadi sebagai sarana mobilitas utama, khususnya di kota-kota besar di Indonesia, semacam Jakarta. Artinya, jika tidak ada restriksi bagi masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi, sebaik apapun managemen transportasi yang diterapkan, pasti akan rontok. Apalagi, kalau pola pengembangan transportasi yang berkelanjutan nyaris tak disentuh, dipastikan masyarakat akan bermobil ria (dan bermotor ria) untuk menunjang mobilitas sehari-hari. Jakarta dengan Trans Jakarta-nya pun masih berjalan tertatih-tatih. Tahun lalu (2008), tidak ada penambahan koridor. Dengan berbagai alasan, tiga koridor yang direncanakan, mandeg total. Rencana membangun monorail juga sami mawon, apalagi subway (kereta bawah tanah). Industri otomotif pasti menyambut dengan gegap-gempita atas turunnya harga BBM di dalam negeri. Kepeminatan masyarakat terhadap transportasi publik juga makin meluntur. Pemerintah pun makin malas menata dan mengembangkan sektor transportasi publik secara komprehensif.

Ketiga, siapakah sejatinya penikmat turunnya harga BBM? Adalah kelas sosial menengah atas yang secara dominan menyeruput turunnya harga BBM ini. Masyarakat berkantong tipis tetap sebagai penonton setia (alias gigit jari). Mau bukti? Ketika harga BBM turun, sebagian besar masyarakat memimpikan turunnya harga berbagai kebutuhan pokok, khususnya tarif transportasi dan harga sembako. Tapi aneh bin ajaib, hingga detik ini tarif transportasi—apalagi harga sembako, masih setia dengan harga lama. Pengusaha angkutan, dan juga ORGANDA, berdalih bahwa komposisi biaya angkutan bukan hanya BBM. Bahkan kini faktor BBM tidak signifikan lagi. Harga onderdillah yang dominan berpengaruh, bahkan pungutan liar. Departemen Perhubungan pun sepertinya hanya macan ompong saja. Terbukti, hanya berani merekomendasikan penurunan tarif angkutan umum sebesar 6 (enam) persen saja. Persentase penurunan yang amat kecil itu--rata-rata hanya berkisar Rp 200-Rp 300 per penumpang, secara empiris sulit dieksekusi. “Nanti kami kembalikan dengan permen saja”, celoteh para awak angkutan.

Oleh sebab itu, secara ekstrim saat harga minyak mentah dunia turun, seharusnya tidak serta merta Pemerintah Indonesia menurunkan harga BBM-nya di dalam negeri. Pemerintah tidak perlu keder sekalipun harga BBM di Indonsia konon lebih mahal dibanding dengan Malaysia atau bahkan Amerika Serikat sekalipun. Toh pasokan minyak mentah di perut bumi Amerika jelas lebih banyak, dan pengelolaan transportasi publiknya juga lebih oke. Pemerintah, dan juga masyarakat, seharusnya melihat fenomena harga BBM secara cerdas dan dengan perspektif yang meluas. Untuk apa menjual murah BBM, kalau sektor lain justru mengalami kebangkrutan: subsidi yang meninggi, stok BBM di perut bumi Indonesia makin terkuras, transportasi publik yang tidak berkembang, dan polusi yang menyesakkan di kota-kota besar di Indonesia. Jakarta misalnya, adalah kota terpolusi terbesar ketiga di dunia. Pemicu utama polusi di Jakarta apalagi kalau bukan maraknya penggunaan kendaraan bermotor pribadi sebagai mobilitas utama warga kota.

Pemerintah dan juga DPR, seharusnya tidak menjadikan harga BBM sebagai komoditas politik (jangka pendek). Kompetisi di ranah politik (Pemilu 2009), yang tinggal beberapa jengkal lagi, seharusnya tidak menjadikan komoditas ini sebagai instrumen untuk mendulang jumlah suara. Harga BBM idealnya dikelola dengan pijakan ideologi yang jelas, dan berjangka panjang. Jangan hanya menjadi alat untuk menyenangkan (‘mendiamkan’) kelas menengah saja. Sementara masyarakat menengah bawah berjibaku dengan mahalnya harga sembako plus tingginya biaya transportasi yang kini mencapai lebih dari 30 persen per bulan, dari total pendapatan masyarakat.

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI
(Dimuat oleh Media Indonesia, edisi 22 Januari 2009)

Selasa, 23 September 2008

Sepuluh 'Bahaya Laten' Arus Mudik Lebaran

Sepuluh ‘Bahaya Laten’ Arus Mudik Lebaran

Tradisi pulang kampung (mudik) pada hari Lebaran, tampaknya sudah menjadi kohesi sosial yang amat kuat bagi sebagian besar masyarakat (perkotaan) di Indonesia. Sekalipun berbekal ala kadarnya, tak menjadi kendala untuk meretas kembali tali kekerabatan. Diperkirakan tahun ini jumlah pemudik mengalami lonjakan 6,14 persen (sekitar 15,8 juta), tahun lalu ‘hanya’ 14,9 juta. Jumlah arus kendaraan, minus sepeda motor, menurut Departemen Perhubungan mengalami peningkatan sebesar 4,61% dari tahun sebelumnya, yakni 1.808.150 kendaraan menjadi 1.891.523 kendaraan. Memindahkaan jutaan manusia pada waktu bersamaan, tentu bukan pekerjaaan mudah. Banyak pihak dibuat pusing tujuh keliling oleh tradisi tahunan ini (selain juga diuntungkan).

Ironisnya, kendati hajatan rutin ini terjadi setiap tahun, toh berbagai permasalahan yang mengiringi tidak pernah terselesaikan secara tuntas. Pemerintah, dan juga masyarakat justru semakin ‘berekelon’ dengan multi distorsi yang amat klasik. Setidaknya, “10 bahaya laten” akan menyerimpung arus mudik kali ini, yang jika tidak dikelola dengan kecerdasan tinggi; akan menjadi instrumen untuk memporandakan prosesi mudik. Berikut 10 bahaya laten itu.

Pertama, paradigma safety first. Aspek keselamatan dalam sistem managemen transportasi menjadi prasyarat pertama. Tetapi, dalam realitas keseharian--apalagi pada arus mudik, aspek safety acap dipinggirkan, kalah oleh aspek aksesibilitas dan mobilitas. Yang penting penumpangnya terangkut; keselamatan mah nomor buntut. Apalagi transportasi darat, yang terbukti menjadi instrumen efektif pencabut nyawa. Masih digunakannya kereta api sapu jagad—yang bertiwikrama menjadi “kereta komunitas” adalah bukti aspek keselamatan bukan menjadi urgensi. Kereta sapu jagad (“kereta komunitas”) prinsipnya sami mawon, ya kereta barang yang tidak layak menjadi alat angkut manusia.

Kedua, minimnya keandalan moda transportasi publik. Pemerintah boleh menepuk dada, bahwa dari sisi ketersediaan sarana transportasi publik cukup memadai. Tetapi, pertanyaannya, bagaimana tingkat keandalan sarana transportasi publik itu? Untuk mengatasi kondisi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak, mayoritas pengusaha angkutan bermanuver dengan menggunaan suku cadang kelas dua (palsu) untuk solusinya. Apalagi yang menjadi pertaruhan atas maraknya penggunaan suku cadang palsu ini, selain aspek keselamatan? Bahkan, tidak hanya perusahaan bus, moda kereta api pun tidak luput dari fenomena ini. Wajar jika lima tahun terakhir ini tingkat keandalan moda kereta api menyusut drastis, hingga 80 persen saja. Anehnya, ketika keandalan turun, eh, anggaran biaya perawatan malah dikurangi. Kecelakaan kereta api yang terjadi bertubi akhir-akhir ini adalah akibat fenomena ini.

Ketiga, pelanggaran tarif batas atas. Kenaikan tarif tuslah pada bus umum memang tidak ada lagi. Pemerintah menggunakan model tarif batas atas (ceiling price) dan batas bawah (floor price). Namun praktiknya, konsumen bus umum tetap mengalami kenaikan tarif, sebab, dalam suasana peak season seperti ini nyaris tidak ada perusahaaan bus yang menggunakan floor price. Persoalan tidak berhenti di sini saja, karena banyak awak angkutan yang meminta tarif tambahan, entah untuk membayar tol, uang timer, bahkan untuk “THR”. Sialnya, tangan kuasa petugas tidak mampu menertibkan aksi nakal ini. Sanksi yang diberikan terbukti tidak cukup ampuh untuk menimbulkan efek jera.

Keempat, maraknya penggunaan sepeda motor. Mudik dengan sepeda motor, kini menjadi tren tak terhindarkan. Departemen Perhubungan mengestimasikan jumlah pemudik sepeda motor tahun ini mencapai 2,5 juta unit, naik 18,08 persen (pada 2007 sebanyak 2,1 juta sepeda motor). Tetapi, Yang sangat merisaukan dari maraknya penggunaan sepeda motor adalah adalah aspek keselamatannya. Betapapun efesiennya (secara ekonomi), sepeda motor bukan tipe kendaraan yang layak untuk perjalanan jarak jauh. Tidak heran jika selama 14 hari arus mudik pada 2007 lalu, di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera saja; 256 nyawa tercerabut akibat kecelakaan sepeda motor (data resmi Mabes Polri).

Kelima, minimnya akses informasi. Pelanggaran hak-hak publik (konsumen) terjadi bukan saja pada pelanggaran tarif. Umumnya situasi mudik menciptakan suasana semrawut, crowded, dan panik. Tetapi, di tengah kondisi semacam ini nyaris tidak ada informasi yang bisa diakses oleh konsumen secara utuh : tak ada tempat bagi konsumen untuk bertanya dan mengadu. Posko yang disediakan Pemerintah terlihat kurang efektif, karena ditempatkan pada posisi terpojok, kalah oleh hingar-bingar iklan rokok, yang kini marak di terminal dan stasiun. Posko partai politik pun hanya menjadi pajangan tak berfungsi. Tak pelak, banyak pemudik yang menjadi santapan empuk calo, preman terminal, atau oknum lain yang nyaru.

Keenam, titik rawan kemacetan. Nyaris tidak ada mudik tanpa bumbu kemacetan. Selain volume kendaraan meningkat tajam, fenomena macet juga dipicu oleh masalah klasik, seperti jalan rusak dan bottle neck, atau pasar tumpah (kondisi ini sepertinya sudah given). Terkait dengan jalan rusak, sungguh aneh jika perbaikannya selalu dilakukan saat menjelang mudik Lebaran tiba.

Ketujuh, tidak optimalnya fungsi jalur alternatif. Untuk menghindari titik rawan kemacetan, jalur alternatif bisa menjadi solusi. Tetapi faktanya, jalur alternatif ini terbukti tidak efektif untuk mengatasi kemacetan, karena mayoritas tidak berminat menggunakannya. Selain kontur jalannya tidak rata dan berkelok-kelok, juga tidak adanya petunjuk arah yang jelas. Akibatnya jalan alternatif justru sering menyesatkan pemudik. Biasanya pada jalur alternatif tidak ada petugas resmi yang berjaga (yang ada hanya ‘pak ogah’, yang tak jarang memasok informasi keliru).

Kedelapan, bencana alam. Tidak jarang arus mudik mengalami kekacauan, karena faktor bencana alam; khususnya banjir atau tanah longsor. Memang, menurut laporan BMG,hujan deras tidak akan terjadi selama arus mudik kali ini. Artinya, ancaman banjir dan tanah longsor bukanlah hantu yang menakutkan. Namun demikian, pada titik rawan yang acap menjadi langganan banjir dan tanah lonsor (seperti Banyumas), tetap harus diwaspadai.

Kesembilan, perilaku nakal pemudik. Perilaku pemudik memberikan kontribusi signifikan terhadap lancar tidaknya arus mudik. Salah satunya adalah menyerobot jalur yang bukan miliknya. Perilaku ini biasanya akan menyumbat arus dari arah sebaliknya. Perilaku nakal semacam ini, akan menimbulkan kemacetan berjam-jam. Tidak mudah bagi petugas untuk mengurai kembali jika terjadi kenakalan semacam ini. Tindakan tegas petugas kepolisian layak ditimpakan kepada pemudik berkarakter semacam ini.

Kesepuluh, lemahnya law enforcement. Arus mudik adalah sikon tidak normal. Banyak aturan dilanggar, namun dibiarkan saja oleh petugas. Misalnya, banyak pemudik yang menggunakan mobil bak terbuka (hanya ditutup terpal plastik) dan melewati jalan tol pula. Ini jelas pelanggaran, tetapi toh petugas hanya bengong melompong. Sebagaimana pengguna sepeda motor, mobil bak terbuka tidak memenuhi standar keselamatan untuk mudik.
***
Pemerintah tidak bisa mengklaim berhasil mengelola arus mudik, jika parameternya hanya mampu memindahkan 15,8 juta pemudik saja. Akan lebih fair kalau parameter keberhasilannya adalah minimnya kecelakaan yang merenggut nyawa, termasuk pengguna sepeda motor. Petugas harus lebih sigap, tegas dan pro aktif dalam mengendalikan arus lalu-lintas yang potensi crowded-nya sangat tinggi. Juga bagi para pemudik, apapun moda transportasi yang digunakan, seharusnya lebih rasional dan bijak. Jangan mengedepankan perilaku egois, serakah dan mau menang sendiri (sok raja jalanan!) yang justru akan memperluas tingkat kesemrawutan lalu-lintas di jalan raya. Seharusnya 10 bahaya laten itu tidak akan terjadi jika ada sinergi yang kuat antara petugas, operator dan awak angkutan moda transportasi publik, plus pemudik itu sendiri. Betapapun, perbaikan sarana transportasi publik, baik dari sisi akses, mobilitas dan keandalan, adalah prasyarat utama untuk merombak carut-marutnya mudik Lebaran.

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI

Keterangan : Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, edisi Rabu, 24 September 2008.