Selasa, 23 September 2008

Sepuluh 'Bahaya Laten' Arus Mudik Lebaran

Sepuluh ‘Bahaya Laten’ Arus Mudik Lebaran

Tradisi pulang kampung (mudik) pada hari Lebaran, tampaknya sudah menjadi kohesi sosial yang amat kuat bagi sebagian besar masyarakat (perkotaan) di Indonesia. Sekalipun berbekal ala kadarnya, tak menjadi kendala untuk meretas kembali tali kekerabatan. Diperkirakan tahun ini jumlah pemudik mengalami lonjakan 6,14 persen (sekitar 15,8 juta), tahun lalu ‘hanya’ 14,9 juta. Jumlah arus kendaraan, minus sepeda motor, menurut Departemen Perhubungan mengalami peningkatan sebesar 4,61% dari tahun sebelumnya, yakni 1.808.150 kendaraan menjadi 1.891.523 kendaraan. Memindahkaan jutaan manusia pada waktu bersamaan, tentu bukan pekerjaaan mudah. Banyak pihak dibuat pusing tujuh keliling oleh tradisi tahunan ini (selain juga diuntungkan).

Ironisnya, kendati hajatan rutin ini terjadi setiap tahun, toh berbagai permasalahan yang mengiringi tidak pernah terselesaikan secara tuntas. Pemerintah, dan juga masyarakat justru semakin ‘berekelon’ dengan multi distorsi yang amat klasik. Setidaknya, “10 bahaya laten” akan menyerimpung arus mudik kali ini, yang jika tidak dikelola dengan kecerdasan tinggi; akan menjadi instrumen untuk memporandakan prosesi mudik. Berikut 10 bahaya laten itu.

Pertama, paradigma safety first. Aspek keselamatan dalam sistem managemen transportasi menjadi prasyarat pertama. Tetapi, dalam realitas keseharian--apalagi pada arus mudik, aspek safety acap dipinggirkan, kalah oleh aspek aksesibilitas dan mobilitas. Yang penting penumpangnya terangkut; keselamatan mah nomor buntut. Apalagi transportasi darat, yang terbukti menjadi instrumen efektif pencabut nyawa. Masih digunakannya kereta api sapu jagad—yang bertiwikrama menjadi “kereta komunitas” adalah bukti aspek keselamatan bukan menjadi urgensi. Kereta sapu jagad (“kereta komunitas”) prinsipnya sami mawon, ya kereta barang yang tidak layak menjadi alat angkut manusia.

Kedua, minimnya keandalan moda transportasi publik. Pemerintah boleh menepuk dada, bahwa dari sisi ketersediaan sarana transportasi publik cukup memadai. Tetapi, pertanyaannya, bagaimana tingkat keandalan sarana transportasi publik itu? Untuk mengatasi kondisi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak, mayoritas pengusaha angkutan bermanuver dengan menggunaan suku cadang kelas dua (palsu) untuk solusinya. Apalagi yang menjadi pertaruhan atas maraknya penggunaan suku cadang palsu ini, selain aspek keselamatan? Bahkan, tidak hanya perusahaan bus, moda kereta api pun tidak luput dari fenomena ini. Wajar jika lima tahun terakhir ini tingkat keandalan moda kereta api menyusut drastis, hingga 80 persen saja. Anehnya, ketika keandalan turun, eh, anggaran biaya perawatan malah dikurangi. Kecelakaan kereta api yang terjadi bertubi akhir-akhir ini adalah akibat fenomena ini.

Ketiga, pelanggaran tarif batas atas. Kenaikan tarif tuslah pada bus umum memang tidak ada lagi. Pemerintah menggunakan model tarif batas atas (ceiling price) dan batas bawah (floor price). Namun praktiknya, konsumen bus umum tetap mengalami kenaikan tarif, sebab, dalam suasana peak season seperti ini nyaris tidak ada perusahaaan bus yang menggunakan floor price. Persoalan tidak berhenti di sini saja, karena banyak awak angkutan yang meminta tarif tambahan, entah untuk membayar tol, uang timer, bahkan untuk “THR”. Sialnya, tangan kuasa petugas tidak mampu menertibkan aksi nakal ini. Sanksi yang diberikan terbukti tidak cukup ampuh untuk menimbulkan efek jera.

Keempat, maraknya penggunaan sepeda motor. Mudik dengan sepeda motor, kini menjadi tren tak terhindarkan. Departemen Perhubungan mengestimasikan jumlah pemudik sepeda motor tahun ini mencapai 2,5 juta unit, naik 18,08 persen (pada 2007 sebanyak 2,1 juta sepeda motor). Tetapi, Yang sangat merisaukan dari maraknya penggunaan sepeda motor adalah adalah aspek keselamatannya. Betapapun efesiennya (secara ekonomi), sepeda motor bukan tipe kendaraan yang layak untuk perjalanan jarak jauh. Tidak heran jika selama 14 hari arus mudik pada 2007 lalu, di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera saja; 256 nyawa tercerabut akibat kecelakaan sepeda motor (data resmi Mabes Polri).

Kelima, minimnya akses informasi. Pelanggaran hak-hak publik (konsumen) terjadi bukan saja pada pelanggaran tarif. Umumnya situasi mudik menciptakan suasana semrawut, crowded, dan panik. Tetapi, di tengah kondisi semacam ini nyaris tidak ada informasi yang bisa diakses oleh konsumen secara utuh : tak ada tempat bagi konsumen untuk bertanya dan mengadu. Posko yang disediakan Pemerintah terlihat kurang efektif, karena ditempatkan pada posisi terpojok, kalah oleh hingar-bingar iklan rokok, yang kini marak di terminal dan stasiun. Posko partai politik pun hanya menjadi pajangan tak berfungsi. Tak pelak, banyak pemudik yang menjadi santapan empuk calo, preman terminal, atau oknum lain yang nyaru.

Keenam, titik rawan kemacetan. Nyaris tidak ada mudik tanpa bumbu kemacetan. Selain volume kendaraan meningkat tajam, fenomena macet juga dipicu oleh masalah klasik, seperti jalan rusak dan bottle neck, atau pasar tumpah (kondisi ini sepertinya sudah given). Terkait dengan jalan rusak, sungguh aneh jika perbaikannya selalu dilakukan saat menjelang mudik Lebaran tiba.

Ketujuh, tidak optimalnya fungsi jalur alternatif. Untuk menghindari titik rawan kemacetan, jalur alternatif bisa menjadi solusi. Tetapi faktanya, jalur alternatif ini terbukti tidak efektif untuk mengatasi kemacetan, karena mayoritas tidak berminat menggunakannya. Selain kontur jalannya tidak rata dan berkelok-kelok, juga tidak adanya petunjuk arah yang jelas. Akibatnya jalan alternatif justru sering menyesatkan pemudik. Biasanya pada jalur alternatif tidak ada petugas resmi yang berjaga (yang ada hanya ‘pak ogah’, yang tak jarang memasok informasi keliru).

Kedelapan, bencana alam. Tidak jarang arus mudik mengalami kekacauan, karena faktor bencana alam; khususnya banjir atau tanah longsor. Memang, menurut laporan BMG,hujan deras tidak akan terjadi selama arus mudik kali ini. Artinya, ancaman banjir dan tanah longsor bukanlah hantu yang menakutkan. Namun demikian, pada titik rawan yang acap menjadi langganan banjir dan tanah lonsor (seperti Banyumas), tetap harus diwaspadai.

Kesembilan, perilaku nakal pemudik. Perilaku pemudik memberikan kontribusi signifikan terhadap lancar tidaknya arus mudik. Salah satunya adalah menyerobot jalur yang bukan miliknya. Perilaku ini biasanya akan menyumbat arus dari arah sebaliknya. Perilaku nakal semacam ini, akan menimbulkan kemacetan berjam-jam. Tidak mudah bagi petugas untuk mengurai kembali jika terjadi kenakalan semacam ini. Tindakan tegas petugas kepolisian layak ditimpakan kepada pemudik berkarakter semacam ini.

Kesepuluh, lemahnya law enforcement. Arus mudik adalah sikon tidak normal. Banyak aturan dilanggar, namun dibiarkan saja oleh petugas. Misalnya, banyak pemudik yang menggunakan mobil bak terbuka (hanya ditutup terpal plastik) dan melewati jalan tol pula. Ini jelas pelanggaran, tetapi toh petugas hanya bengong melompong. Sebagaimana pengguna sepeda motor, mobil bak terbuka tidak memenuhi standar keselamatan untuk mudik.
***
Pemerintah tidak bisa mengklaim berhasil mengelola arus mudik, jika parameternya hanya mampu memindahkan 15,8 juta pemudik saja. Akan lebih fair kalau parameter keberhasilannya adalah minimnya kecelakaan yang merenggut nyawa, termasuk pengguna sepeda motor. Petugas harus lebih sigap, tegas dan pro aktif dalam mengendalikan arus lalu-lintas yang potensi crowded-nya sangat tinggi. Juga bagi para pemudik, apapun moda transportasi yang digunakan, seharusnya lebih rasional dan bijak. Jangan mengedepankan perilaku egois, serakah dan mau menang sendiri (sok raja jalanan!) yang justru akan memperluas tingkat kesemrawutan lalu-lintas di jalan raya. Seharusnya 10 bahaya laten itu tidak akan terjadi jika ada sinergi yang kuat antara petugas, operator dan awak angkutan moda transportasi publik, plus pemudik itu sendiri. Betapapun, perbaikan sarana transportasi publik, baik dari sisi akses, mobilitas dan keandalan, adalah prasyarat utama untuk merombak carut-marutnya mudik Lebaran.

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI

Keterangan : Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, edisi Rabu, 24 September 2008.

Senin, 15 September 2008

Menguak Patgulipat Bisnis Elpiji

Menguak Patgulipat Bisnis Elpiji

Selasa, 16 September 2008 09:17 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Entah apa yang terbayang di benak petinggi Pertamina dan pejabat pemerintah ketika di awal bulan puasa lalu mewacanakan sebuah perubahan kebijakan harga yang amat radikal, yaitu ingin menaikkan harga elpiji hingga mencapai harga keekonomiannya, menjadi Rp 143 ribu per tabung untuk ukuran 12 kilogram. Jelas saja, wacana ini menjadi bola liar yang kemudian memicu kepanikan masyarakat pengguna elpiji. Atas kepanikan itu, harga elpiji di Jakarta dan sekitarnya melonjak hingga menjadi Rp 75 ribu (padahal normalnya hanya Rp 60-65 ribu). di Kupang, Nusa Tenggara Timur, lebih gila lagi karena elpiji ukuran 12 kg mencapai Rp 200 ribu per tabung. La, kalau nanti harga resmi itu dipatok Rp 143 ribu per tabung, masyarakat akan membeli dengan harga berapa? Haruskah kita merogoh kocek hingga Rp 500 ribu untuk satu tabung elpiji?

Jika patokan keekonomian harga elpiji itu benar-benar dilakukan, nalar sederhana kita akan menggugat: pasti ada ketidakberesan dalam bisnis elpiji di Indonesia (ada "manajemen gombal" di balik bisnis elpiji!). Bukan hanya pada sektor distribusi, tapi juga formulasi harga keekonomian dan persentase ketidakefisienan pada struktur harga; plus bagaimana perilaku Pertamina yang sepertinya masih ingin "mengeloni" (monopoli) bisnis elpiji di Indonesia? Ketika pemerintah menggelindingkan kebijakan tanpa mendalami "suasana batin" masyarakat, kebijakan itu tak ubahnya sebuah teror yang dilakukan oleh negara (state terrorism). Sebab, hanya menjadikan rendahnya harga jual elpiji sebagai satu-satunya justifikasi rasional.

Beruntung, nafsu Pertamina ini tercium Yudhoyono, sang Presiden, yang kemudian meminta Pertamina agar tidak menaikkan harga elpiji pada awal bulan puasa. Bahkan Presiden pun berjanji bahwa harga elpiji tidak akan mengalami kenaikan hingga 2009. Ciamik, dong. Secara normatif memang begitu, tapi tampaknya titah sang Presiden tak cukup ampuh untuk menjinakkan liarnya distribusi elpiji. Di pasaran harga elpiji tetap membubung tinggi. Sebelum Pertamina mendeklarasikan kenaikan harga elpiji, di pasaran harganya "hanya" Rp 70-75 ribu per tabung. Tapi, kini, di area Jabodetabek--sekalipun tidak jadi dinaikkan--harga elpiji sudah kadung bertengger pada kisaran Rp 85 ribu.

Titah sang Presiden yang tidak membumi itu bisa dimaknai beberapa hal. Pertama, apa yang dikatakan Presiden hanya lips service. Presiden menyatakan hal itu hanya untuk menyenangkan (baca: cari muka) terhadap rakyat. Terkait dengan hajatan nasional pada 2009, hal semacam ini menjadi sangat rasional. Titah Presiden hanya untuk mencari popularitas, setidaknya untuk mendongkrak citranya yang akhir-akhir ini melorot.

Kedua, titah Presiden tidak dibarengi dengan upaya konkret memperbaiki jalur distribusi, yang dalam banyak kasus sering terdistorsi. Tanpa dinaikkan pun, karena jalur distribusinya sering kacau, sejatinya masyarakat telah mengalami kenaikan secara signifikan. Ketiga, Presiden--dan juga Dewan Perwakilan Rakyat--sesungguhnya memang mendukung (mendorong) kenaikan harga elpiji. Pemerintah, via Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, boleh saja berdalih dan menyatakan kenaikan harga elpiji adalah masalah internal Pertamina. Toh, kalaupun dianggap sebagai masalah internal, pemerintah merupakan pemegang sahamnya, yang seharusnya cukup absah melakukan intervensi dalam menentukan kebijakan harga. Yang terjadi justru sebaliknya, Pertamina begitu pede menaikkan harga elpiji, karena mendapatkan sebuah "radiogram" dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, yang intinya adalah sebuah pemberitahuan bahwa pemerintah akan memangkas subsidi pada elpiji. Memangkas subsidi tidak ada bedanya dengan "perintah" agar Pertamina menaikkan harga elpiji. Jadi, bisa disimpulkan, secara empiris, pemerintah sendirilah yang menghendaki dan menaikkan harga elpiji, bukan semata-mata "nafsu" Pertamina.

Jika pemerintah (baca: Presiden Yudhoyono) ingin memberikan pasokan elpiji kepada masyarakat dengan harga yang wajar dan terjangkau, langkah yang ditempuh bukan hanya penghentian kenaikan harga. Tapi secara manajerial, pemerintah seharusnya juga melakukan audit terhadap kinerja Pertamina dalam berbisnis elpiji. Audit ini mendesak untuk dilakukan. Sebab, faktanya, justru pihak Pertamina yang meminta kepada Pemerintah (Wakil Presiden) agar pihaknya tetap memegang kendali distribusi (monopoli) terhadap bisnis elpiji di Indonesia.

Permintaan ini jelas menjadi tengara bahwa bisnis elpiji yang dikelola Pertamina tidaklah merugi. Kalau merugi, kenapa Pertamina tetap ngotot ingin memonopoli bisnis elpiji? Patut diduga, formulasi biaya keekonomian elpiji yang dilansir perusahaan pelat merah ini penuh dengan patgulipat (akal-akalan). Badan Pemeriksa Keuangan seharusnya turun tangan dalam kasus ini untuk mengaudit (menguji) berapa sebenarnya harga pokok dan biaya keekonomian elpiji itu. Tindakan semacam ini pernah dilakukan BPK beberapa saat lalu saat mengaudit biaya pokok penyediaan tenaga listrik pada PT PLN. Kalau untuk tarif listrik BPK bisa, mengapa untuk harga elpiji tidak? Toh, sama-sama public good!

Dalam konteks persaingan bisnis, permintaan Pertamina memonopoli elpiji adalah pelanggaran terhadap undang-undang antimonopoli dan persaingan tidak sehat. Terbukti, Pertamina melarang pihak lain (perusahaan minyak asing) ambil bagian dalam memasarkan elpiji. Komisi Pengawas Persaingan Usaha seharusnya tidak ragu memberikan shock therapy pada Pertamina.
Dari perspektif kebijakan subsidi, pemerintah dan Pertamina seharusnya juga mulai memikirkan bagaimana caranya agar pasokan elpiji untuk komunitas khusus--misalnya para penghuni perumahan mewah, apartemen, dan hotel--tidak dijual dengan tabung, melainkan dengan "sistem curah" (bulk), bisa dengan tangki, atau bahkan pipa. Sebab, jika masih didistribusikan dengan tabung, penikmat subsidi pada elpiji mayoritas adalah the have community.

Fenomena patgulipat harga dan bisnis elpiji harus segera diakhiri. Itu kalau Presiden (pemerintah) ingin serius mengembangkan program konversi energi, plus memasok energi kepada masyarakat konsumen, dengan harga yang terjangkau. Sangatlah tidak cukup kalau hanya meminta Pertamina menghentikan kenaikan harga elpiji hingga 2009, tanpa mengurai benang kusut yang membelit dalam bisnis elpiji ini. Salah satu cara yang seharusnya dilakukan Presiden adalah melakukan "dekonstruksi" atas kebijakan politik pengelolaan energi nasional.
Contoh, mengapa pemerintah justru masih mempertahankan dan mengembangkan ekspor komoditas energi (terutama gas alam cair), bahkan dengan harga yang amat murah, sedangkan pemerintah malah menyodori komoditas energi yang mahal untuk rakyatnya karena masih diimpor, yaitu elpiji? Terbongkarnya kasus gas Tangguh seharusnya menjadikan tonggak bagi Presiden Yudhoyono untuk melakukan kaji ulang (renegosiasi) terhadap semua kontrak penjualan energi dengan mitra asing, yang terbukti sangat merugikan kepentingan nasional. Akankah kita menggadaikan kepentingan jangka panjang demi mempertahankan kerakusan dari sebuah rezim?*

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia