Kamis, 17 Juli 2008

Reorientasi Profesi Dokter..

DOKTER PTT
Visi Indonesia Sehat Jangan Cuma Mimpi

Sabtu, 19 Mei 2007

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tak habis mengerti mengenai langkah Departemen Kesehatan menghapus kebijakan wajib menjalani praktik pegawai tidak tetap (PTT) bagi dokter baru. "Itu sangat bertentangan dengan niat Departemen Kesehatan membuat masyarakat kita menjadi sehat," kata Dewan Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi.
Penilaian itu tidak berlebihan. Kebijakan yang tak lagi mewajibkan praktik PTT membuat kepentingan masyarakat untuk memperoleh layanan dokter menjadi termarjinalkan: sangat bergantung pada kemampuan dan political will pemerintah daerah (pemda). Bila kemampuan atau kemauan pemda tak ada, layanan dokter adalah "barang langka".

Berharap pada hati nurani dan idealisme dokter saja jelas absurd. Ya, karena kesehatan masyarakat bukan soal hati nurani dan idealisme orang per orang. Kesehatan masyarakat adalah kebutuhan mendasar, dan karena itu harus jelas hitung-hitungannya secara ekonomi. Artinya, dari sisi manajemen pemerintahan, harus ada alokasi khusus dalam anggaran.
Tapi, soalnya, tak semua pemda siap. Daerah-daerah yang kering pemasukan jelas kerepotan jika harus membuat alokasi anggaran tersendiri bagi pengadaan tenaga dokter di daerah masing-masing sesuai proporsi penduduk.

Namun begitu, Visi Indonesia Sehat 2010 yang dicanangkan pemerintah jangan cuma mimpi. Diharapkan berbagai program yang diluncurkan dalam rangka menciptakan kesehatan masyarakat tak hanya mengawang di awan.

Toh begitu, Tulus masih mengkhawatirkan masyarakat-- terutama di daerah terpencil -- tak bisa memperoleh akses layanan kesehatan. Padahal selama ini, masalah tersebut relatif bisa tertangani berkat kebijakan wajib tugas PTT bagi dokter baru.

Tulus terus-terang menilai penghapusan kebijakan wajib tugas PTT itu bias dengan kepentingan dokter untuk bisa berkiprah hanya di perkotaan atau di daerah basah. Atas dasar itu pula, "Kami akan minta Departemen Kesehatan agar membatalkan penghapusan kebijakan itu," kata Tulus.

Menurut Tulus, pemerintah seharusnya justru memperbanyak dokter tugas PTT. Ini bukan cuma soal pemerataan antardaerah, melainkan terutama karena begitu banyak masyarakat yang sangat membutuhkan layanan tenaga dokter.

Selama ini saja, persoalan tersebut begitu gamblang mengemuka. Justru itu, setelah kebijakan wajib tugas PTT bagi dokter dihapus, persoalan itu bisa kian menjadi-jadi. Terutama di daerah pelosok atau terpencil, masyarakat tak bisa lagi berharap terhadap layanan tenaga dokter.
Kepala Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kesehatan dr Agus Purwadianto sebelumnya menyatakan penghapusan dokter PTT merupakan amanat Undang-undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Saat ini kalangan dokter sendiri tak puas dengan keberadaan UU tersebut. Tak heran bila UU No 29/2004 itu dalam proses uji material di Mahkamah Konstitusi. Salah satu yang dipersoalkan kalangan dokter adalah kekhawatiran kriminalisasi terhadap dokter.
Tetapi Tulus menyatakan tak sependapat dengan pikiran semacam itu. Mestinya pemerintah, menurut Tulus, mengambil tindakan status quo atas UU tersebut. Karena UU itu sendiri dalam proses uji material, pemerintah seyogianya tidak mengambil kebijakan penting yang dalam hal ini adalah lahirnya Permenkes No 512 Tahun 2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran.

Meski uji material tersebut bersifat parsial karena hanya pasal tertentu saja, di mata Tulus, Departemen Kesehatan memang sudah selayaknya mendinginkan persoalan terlebih dahulu.
"Tidak boleh mengambil kebijakan ketika UU-nya sedang diperjuangkan meski hanya beberapa pasal yang sedang diuji material," kata Tulus.

Tulus juga merasa khawatir Permenkes No 512 tersebut mengakibatkan pergeseran orientasi para dokter. "Katakanlah dokter-dokter sekarang seperti ingin enaknya sendiri hanya ingin praktik di daerah empuk dan tidak mau berpraktik di daerah tertinggal," kata Tulus. Hal tersebut menurut Tulus mengingkari etik kedokteran itu sendiri.

Kesiapan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota agaknya juga dipertanyakan. Dalam Jurnal Manajemen Ilmu Kesehatan No 01 Maret 2006, Laode Ahmad Sukarno, Nanis Budiningsih dan Sigit Riyanto antara lain menulis dinas kesheatan di daerah mendapat anggaran 3 persen dari total APBD. Tetapi pada sisi lain SDM dinas kesehatan di daerah juga belum sepenuhnya mampu menyusun anggaran dan perencanan pelayanan kesehatan.

Pantas saja jika Tulus menekankan agar pemerintah pusat tetap ikut mengurusi masalah tersebut meski masalah kesehatan termasuk yang ikut didesentralisasi.
"Kalau makin dilepas akan semakin buruk. Kalau hanya melihat kepentingan individu saja nanti tidak ada dokter yang mau praktik di ujung pulau di Indonesia, misalnya di pulau terpencil di Indonesia," katanya.

Menurut hemat Tulus, penghapusan dokter PTT membahayakan sistem pelayanan kesehatan masyarakat disamping mengingkari etik kedokteran. "Dokter harus mau bekerja untuk siapa saja," ujar Tulus.

Tulus kembali mengkritik Departemen Kesehatan yang dinilainya saat ini tidak dalam kondisi untuk mensehatkan masyarakat. Pasalnya instrumen ke arah tersebut malah dihilangkan. "Sepertinya (kebijakan tersebut) bias dengan kepentingan dokter itu sendiri," kata Tulus. (Mangku)

Sumber : Suara Karya

Tidak ada komentar: