Kamis, 17 Juli 2008

'SOS' Sektor Ketenagalistrikan

Sektor ketenagalistrikan yang begitu vital dan strategis, tampaknya justru menjadi anak tiri di negeri ini. Berbagai kebijakan yang digulirkan Pemerintah selain tidak kondusif untuk mengembangkan ketenegalistrikan secara sehat, bahkan, dalam banyak hal justru bersifat destruktif terhadap sektor ketenagalistrikan itu sendiri. Akibatnya, secara perlahan tetapi meyakinkan, kinerja sektor ketenagalistrikan di Indonesia terus tergerogoti. Kini, ketika Jakarta – yang nota bene simbol Indonesia – harus bergelap ria, adalah pertanda drama ’kematian’ sektor ketenagalistrikan begitu dekat dan kentara. Siapa lagi yang dirugikan kalau bukan konsumen listrik, maupun masyarakat Indonesia yang belum terlistriki.
Potret jebloknya layanan PT PLN selaku penyedia tunggal ketenagalistrikan di Indonesia, sejatinya bukan kisah baru. Semenjak 1997 hingga sekarang, jika ditakar via data Bidang Pengaduan YLKI, kasus pengaduan ketenagalistrikan selalu bertengger pada posisi the big five. Klimaksnya, pada 2004-2005 YLKI ‘kebanjiran’ pengaduan yaitu mencapai 5.893 pengaduan dari 10 area pelayanan PLN di Indonesia, mulai dari Banten, Palu, Palembang, Bandung, Malang, Semarang, Yogyakarta, Jakarta, Semarang, Bali dan Pontianak. Dari 5.893 pengaduan itu yang paling dominan adalah mengenai kualitas produk (seperti gangguan pemadaman dan aliran listrik tidak stabil) sebanyak 1.962 kasus (33,29%); pengelolaan sumber daya manusia sebanyak 1.344 kasus (22,81%); proses bisnis (seperti permintaan sambung baru, tambah/turun daya, P2TL) sebanyak 893 kasus (15,15%); tarif dasar listrik yang dirasa berat sebanyak 738 kasus (12, 55%); penerangan jalan umum sebanyak 499 kasus (8, 47%); sarana dan prasarana (seperti tiang listrik miring, payment point berjubel ) sebanyak 442 kasus (07, 50%).
Pada tataran normatif, berbagai kasus pengaduan terutama masalah pemadaman yang kini menjadi hantu baru bagi konsumen listrik, adalah bentuk pelanggaran hak-hak publik, yang tidak hanya dilakukan oleh PT PLN sebagai operator, tetapi juga Pemerintah sebagai regulator. Bentuk pelanggaran hak itu bisa diteropong dari berbagai perspektif regulasi yang melingkupinya, seperti UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (UUKL), Keputusan Presiden (Keppres) No. 104 Tahun 2004 tentang Harga Jual Tenaga Listrik yang Disediakan oleh PT PLN, maupun SK Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfatan Energi (Dirjen LPE) No. 114 Tahun 2003 tentang Tingkat Mutu Layanan (TMP) yang harus dideklarasikan oleh PLN. Pasal 4 UUPK menyebutkan bahwa konsumen berhak mendapatkan kenyamanan, keamanan dan keselamatan, saat menggunakan suatu produk barang dan atau jasa. Jelas, pemadaman listrik secara sepihak sangat mengganggu aspek kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen listrik. UU Ketenagalistrikan juga mengamanatkan bahwa PT PLN wajib memasok energi listrik kepada konsumen secara terus-menerus, berkesinambungan, dengan kualitas yang baik. Keppres No. 104 Tahun 2004, relevan dengan kenaikan tarif dasar listrik pada 2003, mewajibkan kepada PT PLN untuk meningkatkan layanan kepada konsumen. Bahkan, lebih teknis lagi, menurut SK Dirjen LPE No. 114/2003 tentang TMP, jika PLN melanggar TMP yang ditetapkan – salah satunya tentang lamanya pemadaman –, maka PLN wajib memberikan kompensasi 10 persen dari biaya beban/abonemen, kepada konsumen. Memang, nilai kompensasi ini secara empiris jelas tidak sebanding dengan tingkat kerugian yang dialami oleh konsumen, apalagi bagi kalangan bisnis dan industri.
Berpijak pada fakta empiris jebloknya kinerja PT PLN dalam melayani konsumen plus berbagai aspek normatif yang dilanggar; seharusnya fokus perbaikan layanan PLN terletak pada tiga hal, yaitu : kualitas produk, proses bisnis, dan pengelolaan sumber daya manusia. Perbaikan pada aspek proses bisnis nyaris tidak memerlukan banyak biaya. Untuk mewujudkan hal ini managemen PT PLN “cukup” menekan tingginya praktik percaloan antara oknum petugas PT PLN dengan perusahaan instalasi, yang acap mencekik leher konsumen saat melakukan ‘sambung baru’. Perbaikan pada aspek pengelolaan SDM juga tidak banyak membutuhkan biaya, karena fokus masalah yang harus diperbaiki adalah seputar petugas front office yang kurang simpatik, uang kembalian kurang, atau lambatnya penanganan pengaduan.
Namun, di sisi lain, perbaikan pada aspek kualitas produk (product quality) membutuhkan gelontoran biaya yang tak terkira banyaknya. Bahkan, secara faktual managemen PLN pun tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan ini tanpa adanya intervensi dari Pemerintah. Sebab, untuk melakukan perbaikan pada sisi kualitas produk, harus ada review kebijakan dari semua lini, baik dari sisi hulu maupun sisi hilir. Dari sisi hulu, terkait dengan kebijakan energi primer, sedangkan dari sisi hilir terkait dengan kebijakan pentarifan. Dari sisi hulu permasalahan yang paling krusial adalah sektor pembangkitan, yaitu minimnya pembangunan pembangkit baru dan tersendatnya pasokan energi primer terhadap mesin pembangkit PLN, khususnya yang berbasis gas dan batu bara. Masalah pasokan energi primer ini jelas bukan ranah PLN, bahkan faktanya, sebagai pengguna PLN sering menjadi ‘pesakitan’ (dirugikan). Pertumbuhan pembangunan pembangkit baru tidak sebanding dengan pertumbuhan permintaan ketenagalistrikan. Bagaimana tidak akan terjadi krisis, jika permintaan energi listrik bertumbuh 9 % (sembilan persen) per tahun, sementara pembangunan pembangkit baru hanya 1(satu) persen per tahun.
Jadi, untuk mengatasi krisis listrik yang saat ini terjadi (dan konon hingga 2009), tidak ada jalan lain selain menambah atau mempercepat pembangunan pembangkit baru. Tanpa itu, percepatan ratio elektrifikasi hingga mencapai 100 persen pada saat bangsa Indonesia berusia 100 tahun (“Visi 75-100”) seperti yang dicanangkan PLN, hanya akan menjadi mimpi di siang bolong. Selain itu, yang tidak boleh dilupakan adalah Pemerintah harus mengutamakan pasokan energi primer untuk pembangkit PLN. Apalah artinya Pemerintah mengeskpor gas dan batubara ke luar negeri, jika pasokan di dalam negeri sendiri terseok-seok? Untuk mewujudkan hal ini, Pemerintah harus berani merombak politik pengelolaan energi nasional plus melakukan re-negosiasi (setidaknya moratorium) terhadap berbagai kontrak perjanjian dagang di bidang energi dengan mitra asing yang terbukti sangat merugikan kepentingan nasional.
Kebijakan pentarifan yang saat ini ada pun harus dibongkar ulang. Kebijakan pentarifan saat ini sejatinya sangat tidak berpihak kepada pengembangan ketenagalistrikan. Sebab, antara biaya pokok penyediaan (biaya produksi) per Kwh dengan harga penjualan ke konsumen akhir, sangat jomplang. Lihat saja, biaya pokok penyediaan rata-rata Rp 1.900 per kWh, tetapi PLN harus menjual kepada konsumen hanya berkisar Rp 600 per kWh. Jelas akan bangkrut! Ditambah lagi PLN harus membeli bahan bakar dengan harga pasar. Hukum ekonomi model apapun pasti tidak membenarkan formulasi semacam ini. Bahkan, semenjak 2002, ketika harga bahan bakar minyak telah dinaikkan bertubi-tubi, tetapi kebijakan pentarifan energi listrik nyaris tidak mengalami perubahan, kecuali pada 2003 saja, itu pun secara parsial. Tampaknya perubahan kebijakan pentarifan energi listrik secara faktual tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Percepatan pembangunan pembangkit baru, mengutamakan pasokan energi primer untuk kebutuhan dalam negeri (untuk pembangkit PLN), plus perombakan kebijakan pentarifan; adalah langkah paling konkrit untuk menyelamatkan sektor ketenagalistrikan yang saat ini sedang menanti ajalnya. Kebijakan harga bahan bakar minyak seharusnya satu paket dengan kebijakan pentarifan sektor ketenagalistrikan. Sebaliknya, jika kondisi semacam ini terus dilanggengkan, sama artinya Pemerintah (atau ada pihak lain) ingin melakukan penghancuran terhadap sektor ketenagalistrikan di Indonesia.

Catatan : Dimuat Koran Tempo, Rabu, 16 Juli 2008

Tidak ada komentar: