Kamis, 22 Januari 2009

Menyoal Kebijakan Harga BBM

Menyoal Kebijakan Harga BBM

Krisis global yang kini melanda negeri Abang Sam dan sebagian besar -negara di Eropa, tak selamanya membawa petaka bagi negeri lain. Krisis global justru melahirkan winfall profit, yaitu turunnya harga minyak mentah dunia. Bayangkan saja, kini harga minyak mentah dunia duduk manis pada kisaran 40 dolar Amerika Serikat (AS) per barel. Padahal, sebelumnya harga minyak begitu jumawa, lebih dari 100 dolar AS per barel. Dengan harga yang menyundul langit semacam itu, negara manapun pasti akan dibuat liuer (pusing).

Sebaliknya, saat harga minyak mentah dunia ambruk hingga kisaran 40 dolar AS per barel, mayoritas warga dunia bertempik-sorak. Tak terkecuali dengan masyarakat dan Pemerintah Indonesia, Presiden Yudhoyono. Wujud kegembiraan Presiden Yudhoyono terejawantahkan dalam bentuk turunnya harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri, khususnya premium dan solar. Terhitung sudah dua kali Presiden Yudhoyono menurunkan harga BBM, dan konon medio Januari harganya akan diamputasi lagi. Wah ciamik nian?

Memang, melemahnya harga minyak mentah dunia dan juga turunnya harga BBM di dalam negeri, patut diapresiasi. Namun demikian, sejatinya ada sesuatu yang seharusnya kita khawatirkan bersama. Bahkan, pada batas tertentu, kebijakan Presiden Yudhoyono menurunkan harga BBM di dalam negeri tak urung merupakan sesuatu yang “membahayakan”. Mengapa?

Pertama, bertabrakan dengan politik pengelolaan energi yang berkelanjutan. Acap kita dengar, selain dilanda krisis global, bumi kita kini juga mengalami pemanasan global. Nah, salah satu pemicu utama terjadinya pemanasan global adalah tingginya penggunaan bahan bakar minyak (yang basisnya adalah fosil), seoerti premium, solar, dan gas elpiji. Turunnya harga BBM di dalam negeri hanya akan melanggengkan perilaku boros bagi sebagian besar masyarakat. Harus diakui, hingga saat ini mayoritas pengguna BBM di Indonesia adalah bukan pengguna cerdas. Selain itu, murahnya harga BBM akan mengakibatkan Pemerintah malas mengembangkan bahan bakar non fosil yang jmlahnya sangat melimpah di negeri ini. Contoh, pengembangan tanaman jarak yang dulu pernah diagungkan, kini melempem tak ketahuan juntrungannya. Pemerintah dan juga masyarakat justru makin asyik berkelon dengan murah meriahnya harga BBM. Padahal, pasokan minyak bumi kita tidaklah seberapa (hanya 50 barrel per kapita), jika dibandingkan dengan cadangan minyak bumi dunia. Bahkan kita pun kini berposisi sebagai nett importer.

Kedua, menurunkan harga BBM secara diametral juga bertentangan dengan politik pengelolaam transportasi yang berkelanjutan. Lo, dimanakah logikanya? Harga BBM murah merupakan instrumen paling efektif (‘karpet merah’) bagi masyarakat kaya untuk membeli dan menggunakan kendaraan pribadi sebagai sarana mobilitas utama, khususnya di kota-kota besar di Indonesia, semacam Jakarta. Artinya, jika tidak ada restriksi bagi masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi, sebaik apapun managemen transportasi yang diterapkan, pasti akan rontok. Apalagi, kalau pola pengembangan transportasi yang berkelanjutan nyaris tak disentuh, dipastikan masyarakat akan bermobil ria (dan bermotor ria) untuk menunjang mobilitas sehari-hari. Jakarta dengan Trans Jakarta-nya pun masih berjalan tertatih-tatih. Tahun lalu (2008), tidak ada penambahan koridor. Dengan berbagai alasan, tiga koridor yang direncanakan, mandeg total. Rencana membangun monorail juga sami mawon, apalagi subway (kereta bawah tanah). Industri otomotif pasti menyambut dengan gegap-gempita atas turunnya harga BBM di dalam negeri. Kepeminatan masyarakat terhadap transportasi publik juga makin meluntur. Pemerintah pun makin malas menata dan mengembangkan sektor transportasi publik secara komprehensif.

Ketiga, siapakah sejatinya penikmat turunnya harga BBM? Adalah kelas sosial menengah atas yang secara dominan menyeruput turunnya harga BBM ini. Masyarakat berkantong tipis tetap sebagai penonton setia (alias gigit jari). Mau bukti? Ketika harga BBM turun, sebagian besar masyarakat memimpikan turunnya harga berbagai kebutuhan pokok, khususnya tarif transportasi dan harga sembako. Tapi aneh bin ajaib, hingga detik ini tarif transportasi—apalagi harga sembako, masih setia dengan harga lama. Pengusaha angkutan, dan juga ORGANDA, berdalih bahwa komposisi biaya angkutan bukan hanya BBM. Bahkan kini faktor BBM tidak signifikan lagi. Harga onderdillah yang dominan berpengaruh, bahkan pungutan liar. Departemen Perhubungan pun sepertinya hanya macan ompong saja. Terbukti, hanya berani merekomendasikan penurunan tarif angkutan umum sebesar 6 (enam) persen saja. Persentase penurunan yang amat kecil itu--rata-rata hanya berkisar Rp 200-Rp 300 per penumpang, secara empiris sulit dieksekusi. “Nanti kami kembalikan dengan permen saja”, celoteh para awak angkutan.

Oleh sebab itu, secara ekstrim saat harga minyak mentah dunia turun, seharusnya tidak serta merta Pemerintah Indonesia menurunkan harga BBM-nya di dalam negeri. Pemerintah tidak perlu keder sekalipun harga BBM di Indonsia konon lebih mahal dibanding dengan Malaysia atau bahkan Amerika Serikat sekalipun. Toh pasokan minyak mentah di perut bumi Amerika jelas lebih banyak, dan pengelolaan transportasi publiknya juga lebih oke. Pemerintah, dan juga masyarakat, seharusnya melihat fenomena harga BBM secara cerdas dan dengan perspektif yang meluas. Untuk apa menjual murah BBM, kalau sektor lain justru mengalami kebangkrutan: subsidi yang meninggi, stok BBM di perut bumi Indonesia makin terkuras, transportasi publik yang tidak berkembang, dan polusi yang menyesakkan di kota-kota besar di Indonesia. Jakarta misalnya, adalah kota terpolusi terbesar ketiga di dunia. Pemicu utama polusi di Jakarta apalagi kalau bukan maraknya penggunaan kendaraan bermotor pribadi sebagai mobilitas utama warga kota.

Pemerintah dan juga DPR, seharusnya tidak menjadikan harga BBM sebagai komoditas politik (jangka pendek). Kompetisi di ranah politik (Pemilu 2009), yang tinggal beberapa jengkal lagi, seharusnya tidak menjadikan komoditas ini sebagai instrumen untuk mendulang jumlah suara. Harga BBM idealnya dikelola dengan pijakan ideologi yang jelas, dan berjangka panjang. Jangan hanya menjadi alat untuk menyenangkan (‘mendiamkan’) kelas menengah saja. Sementara masyarakat menengah bawah berjibaku dengan mahalnya harga sembako plus tingginya biaya transportasi yang kini mencapai lebih dari 30 persen per bulan, dari total pendapatan masyarakat.

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI
(Dimuat oleh Media Indonesia, edisi 22 Januari 2009)

3 komentar:

Anonim mengatakan...

yah.. memang di balik semua itu ada kontradiktif menyoal kebijakan harga BBM sesuai dengan tulisan pak dhe Tulus.
Saya jadi mrinding dengan penerawangan pikiran ke depan, dengan fenomena BBM murah mobil dan motor bakalan tambah banyak... apalagi di jakarta.. satu orang satu mobil/motor memadati jalan-jalan raya... berapa ribu liter BBM yang terbuang hanya untuk sebuah kenyamanan bertransportasi... belum urusannya dengan Polusi udara yang di timbulkan.. wah.. semakin ruyam aja ya...pak dhe.

tulus abadi mengatakan...

Sebenarnya, kalau Pemerintah mempunyai kebijakan yg visioner, tdk terlalu sulit solusinya. perbaiki saja transportasi publik, khususnya angkutan masal. hingga detik ini tdk ada angkutan masal di kota2 besar di Indonesia, termasuk Jkt. Indonesia paling primitif managemen transportasi publiknya. Semarang? ah, apalagi dia, kian semrawut, and banjir pula! ya ngga bung Emon.

tulus abadi mengatakan...

Harga BBM seharusnyas tdk menjadi komoditas politik. kasihan generasi mendatang, tidak bisa menikmati BBM lagi, karena stoknya habis!