Senin, 28 Juli 2008

Kontroversi Pembatasan Sepeda Motor

Opini

Kontroversi Pembatasan Jalur Sepeda Motor

Tulus Abadi
· ANGGOTA PENGURUS HARIAN YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA

Para pengguna sepeda motor di DKI Jakarta tampaknya akan terus mengalami proses peminggiran. Setelah peraturan (paksa) menggunakan jalur kiri dan menyalakan lampu depan pada siang hari, kini pengguna sepeda motor (akan) dilarang melenggang di jalan protokol, seperti Jalan Sudirman, Thamrin, Gatot Soebroto, dan Rasuna Said. Tidak kurang dari 8,5 juta unit sepeda motor berseliweran di Jakarta. "Jakarta sudah penuh sesak oleh sepeda motor," kata Sutiyoso.

Para pengguna sepeda motor tentu saja keberatan (marah) dengan kebijakan ini. Apa yang salah dengan pengguna sepeda motor, toh sama-sama penyumbang pajak ke Pemerintah Provinsi DKI? Dari sisi manajemen transportasi dan kondisi empiris lalu lintas di DKI Jakarta, tidak terlalu sulit untuk mematahkan ide kebijakan Sutiyoso dan keberatan pengguna sepeda motor itu sendiri. Argumentasi kedua belah pihak mempunyai kelemahan mendasar.

Pertama, kalau alasannya sepeda motor berkontribusi terhadap kemacetan lalu lintas dan melanggar hak-hak pejalan kaki, apakah kemudian perilaku pengguna mobil pribadi tidak demikian? Bukankah justru mobil--yang lebih banyak menggunakan space--lebih dominan berkontribusi terhadap kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta.

Penghormatan yang rendah terhadap pejalan kaki juga bukan hanya monopoli pemakai sepeda motor. Pengguna kendaraan roda empat pun tak menghormati pejalan kaki. Sebagai contoh, jika kita ingin menyeberang jalan, sekalipun sudah di atas zebra cross, belum tentu pengguna mobil berhenti sejenak memberikan kesempatan pejalan kaki menyeberang jalan. Dalam etika berlalu lintas, seharusnya pengemudi kendaraan bermotor berhenti dulu, mempersilakan penyeberang jalan lewat.

Kedua, maraknya pemakaian sepeda motor ini lebih mencerminkan kegagalan pemerintah dalam mengelola sistem transportasi kota. Angkutan umum (metromini, kopaja, bus swasta, atau bus Transjakarta sekalipun) yang ada, terbukti tidak mampu memberikan jawaban terhadap kebutuhan mobilitas warga Jakarta. Warga Jakarta membutuhkan sarana dan akses angkutan umum yang aman, nyaman, selamat, dan harganya terjangkau. Bukan malah sebaliknya, tidak nyaman, tidak aman, serta akumulasi tarifnya mahal.

Ketiga, pembatasan penggunaan sepeda motor mencerminkan pemerintah tidak berpihak kepada orang kebanyakan (miskin). Bagaimanapun, kebanyakan pengguna sepeda motor adalah pegawai rendahan, dengan gaji kecil. Sepeda motor merupakan satu-satunya akses termurah untuk mobilitas mereka. Kalau mereka dilarang melewati jalan-jalan tersebut, sudah pasti mereka harus merogoh kocek tambahan. Bisa jadi hal ini merupakan proses pemiskinan.
Keempat, secara teknis (ini untuk para pengguna sepeda motor), sepeda motor memang bukan sarana transportasi yang ideal. Sebab, di satu sisi, sepeda motor digerakkan oleh tenaga mesin, sedangkan di sisi lain, badan pengemudi sepeda motor tidak dilindungi oleh kabin kendaraan/rumah-rumah sebagaimana kendaraan roda empat. Maka, jika terjadi kecelakaan, umumnya pengguna sepeda motor lebih banyak yang meninggal/terluka parah dibanding pengguna mobil.

Menurut data resmi PT Jasa Raharja pada 2005, kematian di sektor lalu lintas darat mencapai 39 ribu orang, 19 ribu orang di antaranya kecelakaan sepeda motor. Ironisnya, masyarakat saat ini justru merasa lebih aman-nyaman menggunakan sepeda motor daripada mobil, sekalipun untuk mudik dengan jarak tempuh yang sangat jauh. By design, sebenarnya sepeda motor hanya layak digunakan untuk jarak pendek.

Berdasarkan konfigurasi permasalahan di atas, manuver Sutiyoso membatasi penggunaan sepeda motor tidak akan efektif, karena hanya bersumber pada panic policy dan instant policy. Tidak salah jika kebijakan ini diklaim diskriminatif dan mereduksi hak-hak warga. Jika ingin adil, pengguna kendaraan roda empat pun harus dibatasi pula karena, dari sisi jumlah, pun sudah begitu banyak. Kalau sepeda motor tidak boleh melewati jalan-jalan protokol, pengguna roda empat pun bukan tidak mungkin diperlakukan hal yang sama, misalnya pada hari-hari tertentu.
Di luar negeri, pada hari libur, ada program yang bernama car free day (hari bebas mobil). Pada hari itu, jalan-jalan dibebaskan dari lalu-lalang kendaraan bermotor dan hanya boleh dilewati oleh pejalan kaki serta pengguna sepeda. Contohnya di Bogota, Kolombia, Amerika Latin. Jutaan pengguna sepeda pada Minggu tumplek-blek memenuhi ruas-ruas jalan protokol, tanpa khawatir disambar mobil dan/atau ditelikung pengguna sepeda motor.

Selain itu, pemerintah DKI Jakarta (dan pemerintah pusat) harus masuk pada kebijakan pre market, yaitu mengatur ulang model penjualan sepeda motor. Saat ini penjualan sepeda motor sudah sangat "liar", bahkan sudah merugikan konsumen. Calon konsumen sepeda motor dijebak oleh pihak dealer/leasing dengan pola penjualan yang "memanjakan" (baca: menjebak, menelikung) konsumen. Bidang Pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mencatat, saat ini pengaduan masalah kredit sepeda motor merupakan pengaduan tertinggi. Artinya, ada yang salah dalam pola penjualan sepeda motor kepada masyarakat konsumen.

Jadi pemerintah DKI Jakarta (bahkan pemerintah pusat) sebaiknya tidak melihat persoalan sepeda motor secara parsial. Tidak ada jalan lain, selain harus mengoptimalkan akses sarana transportasi publik yang aman, nyaman, dan selamat, dengan tarif terjangkau. Survei membuktikan, jika tersedia akses sarana transportasi publik yang memenuhi standar tadi, fenomena menyemutnya sepeda motor dan kendaraan roda empat akan terkikis dengan sendirinya.

Sumber : Koran Tempo (pernah dimuat di koran Tempo)

Tidak ada komentar: