Senin, 28 Juli 2008

Surat Terbuka untuk Foke

Surat Terbuka untuk Gubernur Foke

Koran Tempo, Sabtu, 20 Oktober 2007

Eric Penalosa, mantan Wali Kota Bogota, Kolombia, dalam sebuah seminar di Jakarta, melontarkan kritik keras soal kondisi Kota Jakarta. Menurut dia, Jakarta tak ubahnya sebuah kota yang sakit. Kondisi itu bukan karena Jakarta sedang dilanda wabah demam berdarah atau flu burung, melainkan karena Jakarta terlalu banyak dipenuhi mal dan pusat belanja. Sebaliknya, di Jakarta sangat minim tempat yang bisa dijadikan publik untuk berkumpul secara bebas (public space).

Fakta ini sungguh paradoks, karena bagi mantan gubernur Sutiyoso, banyaknya mal dan pusat belanja justru diklaim sebagai sebuah prestasi yang membanggakan dalam membangun Jakarta sebagai kota supermodern. Target Sutiyoso, Jakarta harus memiliki 200 mal dan pusat belanja, sebagaimana di negeri jiran, Singapura.Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan Sutiyoso yang berkiblat ke Singapura untuk urusan mal dan pusat belanja. Tapi seharusnya Sutiyoso tidak hanya mengadopsi sisi komersial dari negeri kecil itu. Sebab, selain marak mal dan pusat belanja, Singapura mengembangkan public space secara proporsional. Ini yang tidak diadopsi oleh Sutiyoso.Relevan dengan situasi tersebut, Fauzi Bowo (Foke), yang baru saja dilantik menjadi orang nomor wahid di Jakarta, menetapkan menyembuhkan penyakit kronis Kota Jakarta sebagai agenda utama.

Pasalnya, senapas dengan Eric Penalosa, yang sukses menjadikan Bogota sebagai kota manusiawi (human city) berkat kepemimpinan politik (political leadership) yang kuat, yaitu setelah mengantongi kemenangan 60 persen suara via pemilihan umum langsung. Dengan modal politik inilah Penalosa mendapat kepercayaan dan dukungan publik untuk membongkar ulang tata kotanya. Analog dengan Penalosa, kini modal politik itu juga dimiliki oleh Fauzi Bowo, setelah meraup suara 57,78 persen suara dalam pemilihan kepala daerah yang lalu. Artinya, sebagaimana Penalosa, Foke juga mengantongi kepercayaan publik yang cukup kuat untuk "mendaur ulang" pola manajemen tata Kota Jakarta. Foke tidak perlu gamang menganulir rencana kebijakan Sutiyoso yang tidak sejalan dengan aspirasi publik dan tata pengelolaan kota yang berkelanjutan.Isu ini harus digelorakan karena, jika hanya mengacu pada janji Foke dalam masa kampanye yang lalu, sepertinya tidak akan ada gebrakan radikal ala Penalosa. Via iklan politik "Solusi Fauzi Bowo untuk Jakarta" (Kompas, Sabtu, 4 Agustus), Foke hanya berfokus pada tiga kasus utama. Pertama, untuk mengatasi banjir, dia akan mempercepat penyelesaian Kanal Banjir Timur serta normalisasi Kanal Banjir Barat dan kali-kali yang melintasi Jakarta. Kedua, untuk mengatasi kemacetan, dia akan mempercepat ketersediaan transportasi massal dengan kapasitas yang besar dan kualitas yang prima, antara lain busway dan subway yang mampu mengangkut 60 ribu penumpang per jam.

Dan ketiga, dalam hal pendidikan, dia akan menyiapkan program prioritas untuk penuntasan wajib belajar 12 tahun, peningkatan mutu lulusan sekolah dasar/sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas/sekolah menengah kejuruan (standar internasional) serta meningkatkan kompetensi guru (standar Asia).Jika hanya mendasarkan pada tiga program itu--sebagaimana yang tertuang dalam iklan politik, hakulyakin Foke tidak akan dikenang publik sebagai gubernur yang "menyejarah". Sekalipun busway, monorel, subway, serta percepatan pembangunan Kanal Banjir Barat/Timur sukses, warga Jakarta akan mencatat bahwa itu "karya" Sutiyoso.Banjir dan kemacetan lalu lintas jelas merupakan "megakasus" yang harus mendapatkan prioritas tertinggi untuk segera dibereskan. Persoalannya, penyakit kronis Kota Jakarta bukan hanya itu: bukan hanya banjir dan macet an sich! Masih ada sederet penyakit kronis lain--yang secara sosio-kultural akan menjadi bom waktu yang tidak kalah mengerikan ketimbang "megabanjir" dan "megamacet".

Sebagaimana Jakarta menyontek bus rapid transit ala Transmilenio Bogota, seharusnya Fauzi Bowo juga mengadopsi gerakan radikal ala Penalosa.Apa sajakah gerakan radikal Penalosa dalam memanusiawikan Kota Bogota yang semula terkenal barbar? Salah satunya membangun tempat-tempat publik secara meluas. Di Bogota, taman-taman kota terbentang begitu luas. Dengan taman kota itu, warga kota dapat secara leluasa bercengkerama dengan keluarga dan kerabat, berolahraga, serta aktivitas lainnya. Karena itu, tidak ada jalan bagi Fauzi Bowo untuk menganulir "nafsu" Sutiyoso agar Jakarta memiliki 200 mal dan pusat belanja. Caranya?Pertama, Fauzi Bowo harus berani me-replace dengan memperbanyak pembangunan tempat publik yang nir-komersialisme, seperti tempat bermain, taman kota, dan lapangan untuk berolahraga. Minimnya tempat-tempat publik di Jakarta mengakibatkan warga Jakarta tidak kreatif, bahkan destruktif. Tingginya angka kriminalitas di Jakarta bukan hanya dipicu oleh faktor ekonomi dan kemelaratan, melainkan lebih karena tata ruang kota yang tidak familiar bagi warga Jakarta.

Terbukti, ketika Penalosa menata ulang kotanya, angka kriminalitas di Bogota turun secara dramatis, 60 persen!Saat ini jumlah mal dan pusat belanja di Jakarta yang sudah oversupply bukan hanya berdampak terhadap persaingan yang tidak sehat antarmal, melainkan juga menjadi "mesin pembunuh" bagi eksistensi pasar tradisional dan usaha mikro lainnya. Lebih dari itu, maraknya mal dan pusat belanja juga memicu perilaku konsumtivisme warga Jakarta. Dalam konteks agama (Islam), menjadikan mal dan pusat belanja sebagai center of activity sejatinya merupakan perbuatan yang tidak dianjurkan, bahkan harus dihindari. Rasulullah SAW menegaskan bahwa pasar (baca: mal dan pusat belanja) merupakan pusat segala kemaksiatan, karena di pasarlah terjadi aksi tipu-menipu dan penindasan manusia atas manusia (exploitation de l'home par l'home).Kedua, mengembalikan fungsi tempat-tempat publik yang sudah ada, tapi direduksi untuk kepentingan komersial dan kepentingan lain yang menyimpang. Contohnya, jalan raya dan trotoar. Kedua wahana untuk aktivitas publik ini kini berubah menjadi "pasar".

Menjadikan jalan raya dan trotoar untuk kepentingan komersial, apa pun alasannya, merupakan pengambilalihan hak-hak publik secara nyata. Apalagi luas ruas jalan di Jakarta masih sangat minim, hanya berkisar 8 persen dari total luas wilayah. Bandingkan dengan Singapura, yang luas ruas jalannya mencapai 15 persen dari total luas wilayah.Ketiga, mengembalikan area ruang terbuka hijau (RTH) yang kini telah disulap menjadi sarana komersial. RTH Jakarta yang kini tinggal 9,7 persen harus dinormalisasi menjadi minimal 27 persen dari total luas wilayah Jakarta. Luas area RTH yang memadai, selain akan menjadi sumber resapan air tanah, akan menjadi "tempat bermain" warga kota, tanpa harus dijejali dengan kepentingan komersial. Tempat-tempat komersial, yang secara telanjang melanggar prinsip-prinsip RTH, harus dihijaukan kembali.Pada akhirnya, Fauzi Bowo tidak akan mampu menyembuhkan penyakit Kota Jakarta jika hanya berkutat pada persoalan banjir, kemacetan, dan pendidikan.

Keberadaan tempat-tempat publik yang proporsional, dari dimensi apa pun--budaya, sosial, psikologi, bahkan agama--merupakan suatu keharusan. Rujuklah tesis cendekiawan muslim kawakan Ibnu Khaldun dalam bukunya, Mukaddimah, bahwa salah satu ciri kota beradab adalah adanya tempat yang luas untuk berkumpul warganya. Ayo, Bang Foke, jangan gadaikan Jakarta hanya untuk kepentingan materialisme. Lakukan terobosan radikal ala Penalosa untuk melakukan face off (operasi total wajah) Jakarta sebagai kota sakit menjadi kota manusiawi bagi warganya. Ayo, Bang Foke, Anda bisa!

Tulus Abadi, ANGGOTA PENGURUS HARIAN YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA

Tidak ada komentar: