Senin, 28 Juli 2008

Menteri Negara Urusan Konsumen

Menteri Negara Urusan Konsumen
Oleh Tulus Abadi
Media Indonesia, 31 Juli 1997


Menteri Negara Urusan Konsumen? Kenapa tidak? Toh sekarang sudah ada Menteri Negara Urusan Khusus? Siapa tahu dengan adanya jabatan baru itu, nasib konsumen di Indonesia jadi lebih baik. Anda setuju?

Ingar binger kampanye Pemilu beberapa bulan yang silam, mungkin masih hangat dalam benak kita. Bahkan, rasa takut dan dampak fisiknya masih membekas pada orang-orang yang secara langsung menjadi korban kampanye. Saat itu, semua OPP mengkampanyekan berbagai tema actual yang segar dan cerdas. Persoalan mengentaskan kemiskinan, memberantas korupsi, atau bahkan proses demokratisasi, adalah tema yang paling dominant dilansir. Bahkan salah satu OPP dengan sangat mantap berjanji akan membebaskan biaya pendidikan alias SPP.

Tema-tema kampanye seperti itu, dalam rangka menggaet simpati sebanyak mungkin, adalah wajar dan sah-sah saja, walau kadang program-program yang dilontarkan terkesan bombastic-utopis. Juga, apakah program itu nanti terealisasi atau tidak itu urusan belakangan.

Relevan dengan fenomena di atas, berdasarkan pengamatan YLKI, tak satu pun tema kampanye yang menyinggung isu-isu konsumen, atau minimal berdimensi perlindungan konsumen. Padahal, isu konsumen sangat mungkin menjadi komoditi yang merarik dan mempunyai nilai jual yang tinggi untuk dikampanyekan. Mungkin ada yang berpikir ini adalah pemikiran yang egoistic, atau beranggapan, itu kan maunya YLKI. Tuduhan seperti itu sah-sah saja. Namum bila kitqa dudukkan persoalan isu konsumen ini secara proporsional, tanpa pretense apa-apa, kita akan yakin bahwa persoalan perlindungan konsumen tak lain identik dengan perlindungan dan pemberdayaan rakyat Indonesia secara makro.

Ada beberapa sebab mengapa isu konsumen sama sekali tidak tersentuh dan dikampanyekan dalam Pemilu. Dalam konteks Negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, isu konsumen memang belum begitu popular. Ini terjadi baik ditataran Negara maupun dalam masyarakat sekalipun. Dengan demikian – terutama dalam tataran Negara – isu konsumen masih menjadi barang mahal. Artinya, jika isu konsumen dan konsumerisme benar-benar dikampanyekan secara ekonomis akan bertabrakan dengan visi ekonomi-politik riil, konsumen tetap menjadi sub-ordinat pengusaha.

Ada rumor, jika UU Perlindungan Konsumen – yang hingga detik ini masih menjadi titik utama perjuangan YLKI – disahkan dan diberlakukan, maka akan banyak pengusaha Indonesia yang berjatuhan alias ambruk. Rumor semacan ini sebenarnya lebih tepat untuk menunjukkan belum siapnya pengusaha, yang dalam praktek lebih banyak berlindung dibawah “ketiak” pemerintah, untuk berhadapan secara langsung dengan konsumen. Faktor lain, mungkin karena dalam sector politis ini kurang tergarap secara professional,, sekalipun oleh lembaga yang paling serius dengan isu konsumen itu sendiri, misalnya YLKI.

Pasca pemilu, kita pun disentakkan oleh berita yang mengagetkan : Harmoko diangkat menjadi Menteri Negara Urusan Khusus. Pengangkatan ini memang menyentakkan, bukan karena Harmoko nya, tetapi lebih disebabkan oleh nama jabata baru yang disandang oleh Harmoko itu sendiri. Sebab baru pertama kali ini dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, ada seorang menteri yang bernama Menteri Negera Urusan Khusus. Lebih unik lagi, istilah itu akhirnya melahirkan berbagai idiom yang tak kalah menariknya, misalnya ada usul agar dibentuk Menteri Negara Urusan Anak-anak.

Timbang punya timbang, relevan dengan uraian diatas, mengapa tidak sekalian saja diangkat Menteri Negara Urusan Konsumen?

Sepintas, usulan ini mengesankan seperti bercanda atau latah atu ikut-ikutan. Atau lagi-lagi ada yang mengatakan, “Ah, itu kan maunya YLKI.” Namun sebenarnya tidak. Pada banyak Negara, baik di Negara maju maupun Negara berkembang, masalah perlindungan konsumen mendapatkan tempat yang sangat layak dan proporsional. Dengan demikian, posisi kosnumen sangatlah kuat, atau minimal terlindungi, baik dari segi politis maupun yuridis. Dari segi politis misalnya dengan keberpihakan pemerintah atau Negara terhadap persoalan-persoalan konsumen. Dari segi yuridis, misalnya dengan memberlakukan UU Perlindungan Konsumen (UUPK). Adanya kedua landasan ini sangat penting bagi konsumen, terutama jika konsumen merasa dirugikan oleh tindakan pengusaha maupun Negara.

Kita ambil contoh, misalnya di Malaysia dan India. Di kedua negara tersebut, yang sama-sama negara berkembang sudah cukup lama memiliki UUPK. Di kedua negara ini juga ada seorang menteri yang khusus menangani masalah konsumen. Filipina, Thailand, Sri Lanka, Mauritius, bahkan RRC yang notabene negara komunis, juga memiliki undang-undang ini. Apalagi di negara-negara yang sudah maju seperti Korea, Taiwan, Jepang, Australia, Belanda, Amerika, atau Inggris. Di Australia bahkan lembaga konsumen setempat pernah mampu menutup sebuah perusahaan besar karena dinilai sangat merugikan konsumen.

Pertanyaannya, mengapa lembaga konsumen Australia bisa begitu hebat? Ya, karena Australia mempunyai UUPK yang melegitimasi tindakan lembaga konsumen itu, sekalipun untuk menutup sebuah perusahaan atau pabrik besar. Sementara, di Indonesia undang-undang yang mengatur secara langsung masalah perlindungan konsumen, hingga kini belum lahir. YLKI, sebagai lembaga yang paling kompeten dengan tema ini, sejak tahun 1981 sudah memperjuangkan UUPK. Sayang nya, hingga kini belum berhasil juga.

Jadi, kembali pada persoalan Menteri Negara Urusan Konsumen. Benarkah hanya latah atau bercanda?

Sudah pasti, ide ini digulirkan untuk ditanggapi secara serius. Syukur-syukur ada tindakan konkret dari pemegang kebijakan. Jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai 200 juta. Adalah konsumen pangsa pasar yang cukup menggiurkan. Apalagi, di negera-negara yang setingkat dengan Indonesia, persoalan konsumen sudah diatur dengan serius.Lebih mendesak lagi, manakala era pasar bebas sudah berlangsung, maka cepat atu lambat konsumen yang 200 juta iutu sangat perlu dilindungi dan diselamatkan dari kemungkinan praktek-praktek curang dalam bisnis.

Atau, sebagai tindakan antisipatif sekaligus preventif, lembagaplembaga semacam YLKI, atau siapa pun orang dan lembaga yang peduli dengan isu konsumen, untuk mulai aktif melakukan lobi politik ke salah satu OPP. Maksudnya, agar isu konsumen termasuk UUPK turut dikampanyekan dan digembar-gemborkan dalam Pemilu mendatang. Syukur-syukur, kalau sebelum itu bisa usul kepada pemerintah untuk mengangkat Menteri Negara Urusan Konsumen, mumpung kabinet yang baru belum terbentuk. (Penulis adalah staf Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia)


***

Tidak ada komentar: