Minggu, 20 Juli 2008

Merawat Sektor Transportasi Publik

Merawat Sektor Transportasi Publik

Gong kenaikan harga bahan bakar minyak baru saja ditabuh oleh Presiden Yudhoyono. Kendati ada gelombang penolakan oleh kalangan mahasiswa plus perlawanan ‘semu’ dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah bergeming. Dari sisi politik pengelolaan energi yang berkelanjutan, sejatinya langkah Presiden Yudhoyono menaikkan harga bahan bakar minyak hingga 28,7 persen, bisa dipahami. Namun, aksi penolakan oleh kalangan mahasiswa pun tidak kalah rasionalnya untuk di endors. Pasalnya, biasanya Pemerintah tidak piawai dalam melindungi sektor yang terdampak langsung oleh kenaikan harga bahan bakar minyak. Bantuan Tunai Langsung (BLT), sekalipun dengan embel-embel plus, jelas bukan resep mujarab untuk memproteksi keluarga miskin dari keterpurukan.

Selain bahan pangan (sembako), salah satu komoditas strategis yang terkena dampak langsung kenaikan harga bahan bakar minyak adalah sektor transportasi. Maka wajar, jika kini para pengusaha angkutan dan Organda lantang berteriak minta tarifnya segera dinaikkan, bahkan hingga 50 persen. Sementara, Menteri Perhubungan hanya ‘merestui’ kenaikan tarif transportasi tidak lebih dari 15 persen saja. Usulan kenaikan, baik oleh awak angkutan dan atau Organda, secara rasional tidak bisa dielakkan. Tetapi persoalannya, membebankan semua dampak kenaikan harga bahan bakar minyak ke dalam komponen tarif, jelas tidak fair. Komponen tarif transportasi itu bukan hanya bahan bakar minyak, tetapi banyak faktor, baik mikro maupun makro, yang secara signifikan mempengaruhi kinerja transportasi di Indonesia, khususnya transportasi dalam kota. Apa sajakah gerangan?

Pungutan Liar

Pungutan liar (pungli) di sektor transportasi terbukti menjadi ’hantu’ yang amat menakutkan. Nilai nominal yang tersedot jika diakumulasi bukanlah ecek-ecek, bahkan menurut Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Angkutan Darat (DPP Organda) nilainya tidak kurang dari Rp 17 trilyun per tahun. Klaim DPP Organda bukanlah isapan jempol belaka, sebab kini pungli justru mengalami eskalasi yang amat luas, tidak hanya pungli di jalanan (fenomena ‘pak ogak’) tetapi juga pungli di internal birokrasi. Bahkan dengan instrumen peraturan daerah, pungli justru dilegitimasi dengan kedok retribusi. Pungli yang paling kentara adalah pada saat pelaksanaan uji kir, yang faktanya hanya formalitas belaka. Tingginya pungli ini jelas merupakan high cost economy bagi kinerja sektor transportasi. Dan siapa lagi yang harus menanggungnya kalau bukan konsumen sebagai pengguna jasa transportasi. Pelaku usaha sektor transportasi pasti melakukan sharing of burden dengan konsumen; baik berupa kenaikan tarif secara sepihak, atau menurunkan kualitas layanan kepada konsumen, sekalipun aspek keselamatan dipertaruhkan.

Izin Trayek

Selain pungli, salah satu penyakit yang membebani kinerja transportasi adalah rute yang tidak efisien (tumpang tindih). Akibatnya konsumen harus beberapa kali ganti angkutan--rata-rata tiga kali, untuk menuju ke tempat tujuan (tempat kerja). Pemicu kondisi ini karena pemberian ijin trayek begitu mudahnya. Ijin trayek diberikan tanpa adanya studi kelayakan terhadap rute yang akan dilalui, misalnya, berapa potensi konsumen yang akan mengakses rute tersebut. Akibatnya, pengemudi tidak mendapatkan income yang memadai, kendati harus ‘saling sikut’ antar pengemudi yang lain. Bagi konsumen efeknya sangat jelas, apalagi kalau bukan menurunnya kualitas layanan. Selain berpotensi menurunnya aspek keselamatan (karena pengemudi saling kebut-kebutan), yang paling lazim adalah konsumen diturunkan sebelum sampai tujuan akhir. Ironisnya kondisi ini seperti dibiarkan saja (bahkan dipelihara), bukan saja oleh oknum aparat (”mafia”) tetapi juga oleh kalangan pengusaha angkutan itu sendiri.

Pungli dan tidak efisiennya rute/trayek, terbukti ampuh menggerogoti sektor transportasi publik, bukan hanya kenaikan harga bahan bakar minyak saja. Artinya, sekalipun tarif transportasi dinaikkan setinggi langit, tanpa pembenahan radikal terhadap kedua benalu ini, maka tetap saja kondisi transportasi tidak akan sehat. Yang ada malah saling ”membunuh” antara pengusaha dan awak angkutan.

Pemberian Subsidi?

Selain pungli dan trayek yang tumpang tindih, Pemerintah juga tidak bisa melupakan faktor subsidi untuk sektor transportasi. Di negara maju sekalipun, sektor transportasi publik masih mendapatkan suntikan subsidi dari Pemerintah. Membebankan semua biaya operasi ke dalam tarif yang harus ditanggung konsumen, tetap tidak akan mampu menutup tingginya biaya operasi. Namun, mengingat kondisi transportasi publik yang runyam seperti ini, pemberian subsidi harus ekstra hati-hati, tergantung bagaimana pola managemen perusahaan angkutan yang bersangkutan. Misalnya, untuk busway Trans Jakarta, subsidi bisa diberikan secara cash kepada managemen Badan Layanan Umum (BLU) selaku pengelola busway Trans Jakarta. Pemberian secara cash kepada Trans Jakarta menjadi rasional, selain karena moda ini di desain sebagai sistem transportasi yang berkelanjutan, juga biaya operasi Trans Jakarta hingga kini memang masih disubsidi oleh dana APBD DKI Jakarta. Jadi, pihak BLU tidak perlu lagi menaikkan tarifnya.

Sedangkan untuk perusahaan transportasi lainnya, yang mayoritas masih dimiliki oleh perseorangan, subsidi yang diberikan bisa berupa penurunan atau bahkan pembebasan bea impor untuk suku cadang. Hal ini sangat mendesak, karena mayoritas suku cadang masih di impor dari negara pemegang merek, dan kini mengalami kenaikan hingga 20 persen. Jika di berikan secara cash, dikhawatirkan tidak berimplikasi langsung kepada konsumen, alih-alih dana subsidi tersebut malah ”dimakan” oleh si pengusaha angkutan sendiri. Atau, usulan DPD Organda DKI agar Pemerintah memberikan harga khusus bahan bakar minyak (menggunakan harga lama) untuk angkutan umum, juga layak dipertimbangkan. Tetapi, bagaimana mengontrolnya?

Jika Pemerintah tidak melakukan terobosan radikal, maka kondisi transportasi publik di berbagai kota di Indonesia, akan mati suri (sekarat). Selain pelayanan yang terus menurun plus keselamatan yang tergadaikan, juga akan terjadi penggelembungan pengeluaran biaya transportasi konsumen yang sudah melewati batas rasional. Hasil survei YLKI (1995), pengeluaran biaya transportasi masyarakat di 9 (sembilan) kota mencapai 14 persen hingga 20 persen per bulan. Padahal, normalnya hanya 12-14 persen dari total income yang diperolehnya. Bahkan, sejak kenaikan harga bahan bakar minyak 2005, pengeluaran biaya transportai masyarakat sudah mencapai lebih dari 30 persen dari total income, per bulannya.

Jadi, agar transportasi publik di kota-kota besar di Indonesia tetap eksis, bukan saja harus dirawat dari sisi fisik saja, tetapi juga memerlukan dukungan ”perawatan” dari Pemerintah, dengan kebijakan yang mendukungnya. Memangkas tingginya pungli (khususnya di birokrasi), menata ulang ijin trayek yang saling membunuh antara operator, plus memberikan berbagai insentif (subsidi) kepada pelaku usaha sektor transportasi, adalah resep mujarab untuk menyehatkan sektor transportasi. Tanpa itu, pembebanan biaya operasi kepada konsumen dengan menaikkan tarif setinggi apa pun, tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan yang ada. Alih-alih belanja transportasi konsumen makin menggelembung, dan pelaku usaha sektor transportasi pun ambruk karenanya. Tingginya harga minyak seharusnya dijadikan momen untuk melakukan pembenahan sektor transportasi publik secara radikal.

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI

Sumber : Media Indonesia, Mei 2008

1 komentar:

Warta Konsumen mengatakan...

Mohon ijin, tulisan ini juga saya ambil untuk kolom Sorotan Warta Konsumen edisi no 8 ya Boss. Hee...hee...