Senin, 01 Juni 2009

Lorong Gelap Pengendalian Tembakau

Bak sebuah gelombang tsunami, perang terhadap bahaya tembakau pada skala global tak bisa dibendung lagi. Produk adiktif ini telah dijadikan public enemy, bukan hanya oleh institusi negara, tetapi juga kalangan masyarakat sipil dunia. Wujud pernyataan perang itu, 164 negara kini telah meratifikasi/mengaksesi Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC). Pada konteks promotif, Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga menjadikan 31 Mei sebagai World No Tobacco Day atau Hari Tanpa Tembakau se-Dunia. Inilah prasasti, betapa pengendalian tembakau telah menjadi concern global.

Lalu, ketika komunitas dunia begitu getol mengurung produk yang mengandung 4.000 racun kimia--40 diantaranya karsinogenik, bagaimana dengan Pemerintah dan masyarakat Indonesia? Jika itu yang kita sandingkan, terdapat perbedaan yang melangit. Mau bukti?

Ketika para pemimpin dunia begitu bangga menyambangi kantor pusat WHO di Jenewa, Swiss untuk meratifikasi FCTC; Presiden Indonesia (SBY) sebaliknya, bangga meresmikan perluasan dan pembukaan pabrik rokok. Dibanggakan, karena industri rokok dipandang ampuh untuk mengentaskan kemiskinan. Sebuah pandangan yang salah-kaprah, bahkan sesat. Justru industri rokok penyebab utama kemiskinan struktural di Indonesia. Terbukti, mayoritas pengguna rokok di Indonesia adalah rumah tangga miskin. Mereka justru lebih banyak membelanjakan pendapatannya untuk konsumsi rokok (12,5%). Ayah dari rumah tangga miskin lebih memilih anaknya hengkang dari sekolah, plus membiarkan balitanya menderita gizi buruk (busung lapar) daripada harus cerai dengan kepulan asap nikotin.

Kiblat paradigma Menteri Kesehatan (Menkes) pun mengalami sesat pikir yang amat parah. Masak seorang Menkes mengatakan, “Wah, gimana ya...rokok memang memberikan cukai yang sangat besar...”. Atau, dalam suatu diskusi, Menkes juga melontarkan opini yang menggelikan, “Kalau rokok tidak boleh dijual ketengan, kasihan tukang ojeg, nanti tidak bisa beli rokok”. Sebuah opini yang tak elok meluncur dari mulut seorang Menkes. Kalau Menkes saja sok populis ngurusi cukai, lalu siapa lagi yang mengawal aspek kesehatannya? Pantas jika Menkes tidak memasukkan larangan merokok pada Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), yang gencar dikampanyekan.

Apalagi Fahmi Idris yang Menteri Perindustrian itu, kebenciannya terhadap FCTC dan segala bentuk regulasi pengendalian tembakau mungkin sudah menyundul ubun-ubun. Tak ada jurus yang acap dilontarkan oleh sang Menteri, selain bahwa pengendalian tembakau akan mematikan industri rokok cs. Padahal baik secara faktual maupun akademis, klaim kuno ini mudah dipatahkan. Misalnya, tanpa adanya ratifikasi FCTC pun nasib petani tembakau sudah kembang-kempis. Penyebabnya siapa lagi kalau bukan industri rokok, yang telah menjadikan posisi petani sebagai subordinat yang paling rendah. Petani tembakau tidak mempunyai posisi tawar sedikitpun saat berhadapan dengan industri rokok. Harga dan kualitas daun tembakau, 100 persen ditentukan oleh seorang grader industri rokok. Selain itu, industri rokok tetap bisa berproduksi selama dua tahun penuh, tanpa membeli tembakau milik petani. Sementara, bagi petani, “kiamat ekonomi” tak terhindarkan jika tembakaunya tak laku saat panen tiba. Wajar jika dua dari tiga petani tembakau ingin beralih profesi, misalnya menjadi petani padi atau bahkan pedagang (survei Lembaga Demografi UI).

Politisi Senayan pun sepertinya “masuk angin” untuk menyorongkan RUU Pengendalian Dampak Tembakau bagi Kesehatan. Benar, adalah suatu prestasi jika RUU ini akhirnya bertengger pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2009. Namun, terkait dengan usia produktif anggota DPR yang tinggal seumur jagung--sementara kini belum terbentuk Panitia Khusus, rasanya nasib RUU ini akan deadlock. Anggota DPR periode berikutnya? Ah, boleh jadi malah mendelegitimasi RUU hingga ke titik nadir, atas pesanan industri rokok, tentu. Patut diduga, kenapa DPR terlihat “malas” membahas RUU Pengendalian Dampak Tembakau, karena RUU ini tidak ‘bergizi’. “Wah, ngga ada olinya Mas, gimana mau dibahas...”, gumam salah seorang anggota DPR. Entah guyonan atau sungguhan, tetapi faktanya DPR malah membahas beberapa RUU yang nyaris tidak ada urgensinya, bahkan belum masuk ke dalam Prolegnas sekalipun.

Sikap dan perilaku sebagian besar masyarakat setali tiga uang dengan Pemerintah dan DPR. Masyarakat begitu mengelukan dan mendewakan industri rokok di segala aspek kehidupannya. Bahkan, opini budayawan sekelas W.S. Rendra sekalipun terlihat begitu “norak” pada produk adiktif ini. “Bahaya rokok itu ndak ada buktinya, takhayul...dan imperialis”, begitu kata Si Burung Merak saat menjadi saksi pada sidang gugatan Komisi Nasional Perlindungan Anak di Mahkamah Konstitusi.

Ibu Negara, Ani Yudhoyono, tahun lalu (2008) memang mempersilakan masyarakat sipil--yang terwadahi dalam Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, untuk merayakan World No Tobacco Day di Istana Negara. Saat memberikan sambutan, terlihat Ibu Negara begitu antusias meminta anak-anak Indonesia untuk tidak merokok dan tidak mempercayai isi iklannya. Tetapi, telisik punya telisik, ada “pesan khusus” dari oknum Istana, “Jangan bicara regulasi pengendalian tembakau, apalagi soal FCTC di depan Ibu Ani...”. Walah, wong inti persoalannya disitu kok.
Entah dengan bahasa dan cara apalagi untuk memberikan asupan fakta dan fenomena racun adiktif ini. Semua lini telah terbeli, tidak hanya secara ekonomi tetapi juga ideologi. Sementara permasalahan tembakau di Indonesia begitu menggawat. Kini manusia Indonesia yang mati oleh penyakit akibat rokok mencapai 1.172 orang per hari, atau 427.000 per tahun (WHO, 2008). Ini karena konsumsi rokok kita terus membubung tinggi, rangking ketiga besar di dunia, setelah China dan India (semula nomor lima). Tak kurang dari 265 milyar batang rokok habis dilahap oleh mulut masyarakat, yang mayoritas miskin. Pertumbuhan konsumsi rokok di kalangan remaja dan anak-anak pun tercepat di dunia, yakni 14,5 persen per tahun. Tetapi aneh bin ajaib, peta situasi semacam ini nyaris tidak membersitkan kengerian sedikit pun bagi Pemerintah. Industri rokok justru dijadikan primadona dan diberikan mandat menggenjot produksi setinggi mungkin, hingga 2015.

Hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan perlindungan dari negara atas bahaya tembakau, bak merasuk ke dalam lorong gelap yang tiada berujung. Segelap putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengandaskan gugatan legal standing YLKI dkk melawan Presiden RI dalam kasus FCTC (Perkara No. 204/Pdt.G./PN/JKt.Pst). Bergemingnya Pemerintah terhadap FCTC, adalah bentuk pembiaran yang paling telanjang terhadap warga negaranya. Apalagi Pemerintah Indonesia adalah “negara pihak” yang aktif dalam rangkaian pembahasan FCTC (sebagai legal drafter). Adalah hak warga negara untuk hidup sehat, tanpa terkontaminasi produk tembakau. Pembiaran inilah yang seharusnya dikualifikasi majelis hakim sebagai bentuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan Pemerintah, bukan malah sebaliknya. Nalar sehat macam apakah yang dijadikan pijakan jika industri racun yang amat adiktif ini justru dijadikan “maskot” untuk menyangga ekonomi bangsa?

Tulus Abadi,
Anggota Pengurus Harian YLKI, Delegasi Indonesia pada 14th World Congres Tobacco or Health, Mumbai, India

(Tulisan ini dimuat oleh Koran Tempo, edisi Sabtu, 30 Mei 2009)

1 komentar:

Rita Damayanti mengatakan...

Pak tulus, bisa lanjut tentang alasan MK tidak menerima legal standing YLKI? Rita Damayanti