Senin, 01 Juni 2009

Tembakau dan Malnutrisi

Penyakit sosial yang bernama kemiskinan, hingga kini masih menjadi fakta yang tak terbantahkan di negeri ini. Menteri Sosial, Bachtiar Chamsah, menyebutkan tidak kurang dari 36,1 persen penduduk Indonesia kini hidup di bawah garis kemiskinan, bahkan 14,5 juta diantaranya berstatus sebagai fakir miskin. Terlepas sahih atau tidak data yang dilansir Mensos tersebut, kemiskinan sering dimaknai sebagai masyarakat yang berpenghasilan rendah, atau bahkan tidak berpenghasilan sama-sekali. Bank Dunia, misalnya, memberikan standar bahwa orang miskin adalah orang yang berpenghasilan kurang dari 2 US$ per hari.

Sah-sah saja kemiskinan dimaknai sebagai orang yang minim penghasilan. Namun demikian, fenomena kemiskinan seyogyanya dilihat dengan perspektif yang meluas dan kontekstual. Misalnya, benarkah mereka memang miskin atau dimiskinkan, atau, mereka hanya salah dalam mengalokasikan pendapatannya, sehingga menjadi miskin?

Karena itu, sangat relevan jika fenomena penyebab kemiskinan di Indonesia dikaitkan dengan perilaku masyarakat dalam mengonsumsi tembakau/rokok. Hal ini, karena, baik pada masyarakat miskin perdesaan maupun perkotaan, konsumsi tembakaunya amat tinggi. Berikut gambarannya.

Kini konsumsi rokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga dunia, setelah China dan India (semula nomor 5). Tidak heran jika lebih dari 60 juta orang membelanjakan uangnya untuk membeli rokok. Mereka rata-rata menghabiskan 11 batang rokok per hari. Secara nasional, belanja bulanan untuk rokok pada keluarga perokok menempati urutan terbesar kedua (9%) setelah beras, 12%. Lebih nggegirisi lagi, menurut Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) 2006, kelompok keluarga termiskin terbukti mempunyai proporsi belanja rokok yang lebih besar (12%) daripada kelompok terkaya yang hanya 7%. Data lebih konkrit menunjukkan, belanja bulanan rokok pada keluarga termiskin pada 2006 setara dengan 15 kali biaya pendidikan dan 9 kali biaya kesehatan. Dibandingkan dengan pengeluaran makanan bergizi, jumlah tersebut setara dengan 17 kali pengeluaran untuk membeli daging, 2 kali lipat untuk membeli ikan, dan 5 kali lipat untuk membeli telur dan susu.

Sebuah survei lain yang dilakukan selama 1999-2003 pada lebih dari 175.000 keluarga miskin di perkotaan di Indonesia menunjukkan, 3 dari 4 kepala keluarga (78,8%) adalah perokok aktif. Belanja mingguan untuk membeli rokok menempati peringkat tertinggi (22%), jauh lebih besar daripada untuk pengeluaran makanan pokok (beras), yang hanya 19%. Sementara pengeluaran untuk telur dan ikan masing-masing hanya 3% dan 4%.

Padahal, terkuak dengan jelas bahwa perilaku merokok kepala rumah tangga berhubungan secara bermakna dengan gizi buruk, yaitu prevalensi anak sangat kurus (severe wasting) 1%, berat badan sangat rendah (severe underweight) 6,3% dan anak sangat pendek (severe stanting) 7,0%. Belanja rokok telah menggeser kebutuhan terhadap makanan bergizi yang esensial untuk tumbuh kembang balita. Studi sejenis pada 2000-2003 pada lebih dari 360.000 rumah tangga miskin di perkotaan dan perdesaan membuktikan kematian bayi dan balita lebih tinggi pada keluarga yang orang tuanya merokok daripada yang tidak merokok.
Dengan begitu tingginya perilaku merokok pada rumah tangga miskin, maka risiko kematian populasi balita dari keluarga perokok berkisar antara 14% di perkotaan, dan 24% di perdesaan. Atau 1 dari 5 kematian balita berhubungan dengan perilaku merokok orang tuanya. Dengan angka kematian balita sebesar 162 ribu per tahun (Unicef 2006), maka konsumsi rokok pada keluarga miskin menyumbang 32.400 kematian setiap tahun atau hampir 90 kematian balita setiap hari.

Bagaimana keterkaitan konsumsi rokok dengan efektivitas dana Bantuan Langsung Tunai (BLT)?

Saat ini terdapat 19 juta kepala keluarga miskin penerima dana BLT. Dengan prevalensi perokok penduduk miskin laki-laki dewasa sebesar 63%, diperkirakan terdapat sekitar 2/3 adalah kepala keluarga perokok. Dengan kata lain, 12 juta kepala keluarga miskin menggunakan dana BLT untuk membeli rokok. Hasil Susenas 2006 menunjukkan rata-rata pengeluaran rokok pada keluarga perokok adalah sebesar Rp 117 ribu per bulan dan pada keluarga miskin sebesar Rp 52 ribu. Artinya, lebih dari separo dana BLT dihabiskan untuk membeli rokok!

***
Bersandar pada konfigurasi data dan fakta di atas, teramat gamblang, bahwa terdapat hubungan erat antara konsumsi tembakau, kemiskinan, dan bahkan malnutrisi. Fenomena ini jelas sangat ironis, dan paradoks. Masyarakat miskin, dengan income yang sangat terbatas, masih salah pula dalam membelanjakan pendapatannya. Jika fenomena ini terus dibiarkan, tanpa adanya sentuhan kebijakan yang konkrit dan menyeluruh, sangat boleh jadi wabah kemanusiaan ini akan mengalami eskalasi yang tak terbendung. Target Indonesia Sehat 2010 atau pencapaian MDG’s akan sangat musykil, mitos belaka.
Tetapi, kita tidak bisa begitu saja menyalahkan perilaku masyarakat miskin ini. Sebab, mereka hanyalah korban atas ketidakmengertian dan ketiadaan kebijakan yang melindunginya. Jadi, jika Pemerintah memang berniat mengentaskan mereka dari kungkungan kemiskinan, tidak ada cara yang paling strategis selain bagaimana Pemerintah memotong mata rantai ketergantungan masyarakat miskin terhadap tembakau. Sebaliknya, adalah tidak masuk akal kalau tembakau dijadikan instrumen untuk mengentaskan kemiskinan. Justru tembakaulah penyebab kemiskinan, malnutrisi dan lost generation! Efek jangka panjang terhadap ini semua adalah buruknya kualitas pembangunan sumber daya manusia : prestasi sekolah yang buruk, lemahnya kapasitas intelektual dan kemampuan kerja.
Peta jalan untuk melakukan perubahan tidaklah sulit. Naikkan saja cukai rokok secara signifikan. Saat ini cukai dan harga rokok di Indonesia terendah di dunia, setelah Kambodia. Cukai rokok kita hanya 38% dari harga retail, sementara rata-rata dunia sudah di atas 60%. Dengan cukai rendah, akibatnya rokok mudah diakses oleh siapa pun, terutama masyarakat miskin, anak-anak dan remaja. Iklan dan promosi rokok yang bergentayangan di semua lini, juga merupakan ketidaklaziman yang terus dipelihara. Rokok adalah produk adiktif, tanpa diiklankan pun akan diburu penggunannya. Lha, ini kok masih diiklankan dan dipromosikan secara masif pula? Indonesia adalah satu-satunya negara—setelah Zimbabwe, yang masih menayangkan iklan rokok di televisi. Selebihnya, larangan penjualan secara ketengan, dan peringatan kesehatan berupa gambar, juga menjadi poin kebijakan yang harus digulirkan.

Untuk menerobos peta jalan tersebut, Pemerintah Indonesia musti melakukan lompatan besar di bidang regulasi. Ratifikasi/aksesi Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) atau membuat RUU Pengendalian Dampak Tembakau bagi Kesehatan, adalah solusi yang paling logis, elegan, dan komprehensif. Kini FCTC telah menjadi hukum internasional, 164 negara telah meratifikasinya. Tak cukup alasan bagi Pemerintah untuk mendiamkan FCTC secara terus-menerus, karena Pemerintah Indonesia adalah “negara pihak” yang aktif dalam pembahasan FCTC, bahkan sebagai legal drafter. Jangan biarkan fenomena generasi yang hilang menjadi sebuah kenyataan, hanya karena pembiaran perilaku liar industri rokok!

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI, Delegasi Indonesia pada 14th World Congres Tobacco or Health, Mumbai-India, Maret 2009.
(Tulisan ini pernah dimuat oleh Suara Pembaruan, Kamis, 28 Mei 2008)

Tidak ada komentar: