Senin, 01 Juni 2009

Melindungi Petani Tembakau

Tak ada komoditas yang paling dipuja dan disembah di se antero negeri ini, selain tembakau. Produk ini disakralkan begitu rupa, bak dewa saja. Tak hanya oleh Pemerintah, tetapi juga masyarakat luas, termasuk media masa. Tak heran jika komoditas ini dianggap “juru selamat” atas ekonomi nasional, yang hingga kini masih lesu darah.

Saat krisis ekonomi 1997, industri rokok yang masih menangguk untung. Kini di tengah hantaman krisis ekonomi global, posisi orang terkaya di Indonesia pun masih ‘dikangkangi’ oleh taipan perusahaan rokok. Tidaklah aneh jika isu pengendalian tembakau (tobacco control) di negeri ini selalu termarginalisasikan. Pengendalian tembakau acap menjadi kambing hitam atas isu bangkrutnya industri rokok yang mengakibatkan PHK masal, plus akan menggulung eksistensi petani tembakau.

Tudingan semacam itu jelas hanya isapan jempol, didramatisasi dan kental suasana politicking-nya. Tak ada fakta, baik secara akademis dan atau empiris, bahwa pengendalian tembakau mengakibatkan “kiamat ekonomi” bagi suatu negeri.

Mau bukti? Hasil kajian Lembaga Demografi Universitas Indonesia (2008) telah membongkar tabir yang sesungguhnya, bahwa kontribusi ekonomi industri tembakau tidaklah signifikan, bahkan sangat kecil. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), industri tembakau bukan penyerap tenaga kerja besar di tingkat nasional. Bahkan, industri ini hanya menduduki peringkat 48 dari 66 sektor yang berkontribusi pada penyerapan tenaga kerja. Fakta juga menunjukkan, industri rokok berkontribusi kurang dari 1 persen terhadap total tenaga kerja nasional sejak tahun 1970-an, hingga kini (bandingkan, misalnya dengan sektor jasa konstruksi yang berkontribusi 5,4%, atau sektor pertambangan yang berkontribusi 4,6 persen). Tren menurunnya penyerapan tenaga kerja akan terus terjadi, karena industri rokok melakukan mekanisasi. Jutaan buruh, yang mayoritas perempuan, secara perlahan tapi pasti akan diganti dengan mesin-mesin canggih. Janji PT Philip Morris Internasional saat mengakuisisi 94 persen saham PT HM Sampoerna, untuk tidak melakukan mekanisasi, juga diingkari.

Bagaimana pula dengan kontribusi pertanian tembakau dan nasib petani tembakau itu sendiri?
Lagi-lagi, masih mengutip hasil kajian Lembaga Demografi UI dan BPS, jumlah petani tembakau tidaklah signifikan, karena hanya 1,6 persen (684.000) dari jumlah tenaga kerja sektor pertanian dan 0,7 persen dari jumlah seluruh tenaga kerja di Indonesia. Klaim Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) bahwa petani tembakau di Indonesia berjumlah 22 juta orang, adalah bohong belaka. Dari jumlah yang tidak signifikan itu pun, kondisi sosial ekonomi petani tembakau juga tidak menggembirakan, bahkan mengenaskan. Misalnya, 69% petani tembakau hanya tamat SD atau bahkan tidak sekolah sama sekali, 58% rumahnya masih berlantai tanah (istilah normatifnya pra sejahtera). Bagaimana dengan penghasilannyas? Juga kurang memenuhi standar kehidupan yang layak, karena ternyata rata-rata upah petani tembakau hanyalah 47% dari rata-rata upah nasional (Rp 413.374 per bulan). Bahkan, jika pun dibandingkan dengan pertanian yang lain, upah petani tembakau hanya separuh dari upah petani tebu.

Selain itu, petani tembakau nyaris tidak mempunyai posisi tawar saat berhadapan dengan industri rokok, sebagai pembeli tunggal produk daun tembakau. Harga dan kualitas daun tembakau 100% ditentukan oleh pihak industri rokok. Mereka mempunyai grader yang bertugas menentukan grade dari daun tembakau, yaitu ditera sesuai dengan penilaian masing-masing grader dari perusahaaan rokok. Konyolnya, hasil grader tidak diketahui oleh petani tembakau. “...ada 40 tingkatan kualitas dan harga, mulai Rp 500 sampai dengan Rp 25.000 per kg, tergantung letak grade-nya. Petani tidak mengetahui tentang penentuan itu”, demikian kesaksian petani tembakau di Kabupaten Lombok Timur. Wajar jika sejatinya petani tembakau tidak happy dengan profesinya itu, dan, dua dari tiga petani tembakau ingin mencari pekerjaan lain, sebagai pedagang atau berpindah menjadi petani lain, misalnya petani padi.

Jadi, yang membuat petani tembakau sengsara bukanlah faktor pengendalian tembakau, tetapi justru industri rokok itu sendiri. Kalau selama ini petani tembakau menolak RUU Pengendalian Tembakau, sikap semacam itu jelas salah sasaran. Seharusnya, petani tembakau (APTI) melakukan tekanan balik pada industri rokok, yang selama ini menjadikan ‘gedibal’nya. Selain faktor di atas, industri rokok juga mempunyai stok yang melimpah, dan sangat cukup untuk berproduksi dua tahun penuh. Sementara, bagi petani sekali panen tembakaunya tidak dibeli oleh industri rokok, mereka akan collaps. Bahkan industri rokok masih mempunyai kedigdayaan lain yang tiada tara, yaitu mengimpor tembakau. Faktanya, 35% daun tembakau masih didatangkan dari Zimbabwe, untuk memasok kekurangan produksi rokok nasional.

Bersandar pada paparan di atas, rasanya makin terang-benderang, bahwa kita dininabobokkan oleh industri rokok. Sebuah industri yang selama ini begitu didewakan, ternyata tak memberikan kontribusi memadai untuk perekonomian nasional, termasuk dalam hal penyerapan tenaga kerja. Kuantitas dan kualitas kehidupan petani tembakau pun rasanya bak jauh panggang dari api, untuk bisa dikatakan makmur. Tidak masuk akal jika Pemerintah menjadikan industri tembakau sebagai “industri unggulan” hingga 2015. Apanya yang diunggulkan, wong perannya terbukti hanya ecek-ecek?

Jika pun petani tembakau “mati suri”, yang mematikan bukan pengendalian tembakau, apalagi oleh RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau bagi Kesehatan. Tingkah polah industri rokoklah yang terbukti sangat jumawa dalam memperlakukan petani tembakau. Mengharapkan dan mengandalkan petani tembakau untuk berani ‘bernegosiasi” dengan industri rokok sepertinya sulit. Karena itu, jika Pemerintah ingin menyelamatkan petani tembakau dan tidak ingin dituduh bersekongkol dengan industri rokok, Pemerintah seharusnya mengendalikan tata niaga tembakau. Hingga kini nyaris tidak ada pengaturan (kontrol) dari Pemerintah terkait dengan bisnis dan tata niaga tembakau nasional. Penentu tunggal tata niaga komoditas tembakau adalah industri rokok.

Pengendalian tembakau bukanlah momok, apalagi monster bagi eksistensi ekonomi tembakau. Fakta empiris membuktikan hal itu, sekali pun di negara yang permasalahan tembakaunya lebih kompleks dibandingkan Indonesia. Pengendalian tembakau tak akan mampu meruntuhkan empirium bisnis industri rokok yang meraksasa. Seharusnya tidak ada kegamangan bagi Pemerintah untuk mengendalikan produk tembakau dengan membuat produk hukum yang komprehensif. FCTC dan atau RUU Pengendalian Produk Tembakau bagi Kesehatan adalah instrumen paling elegan untuk meretas pengendalian tembakau di negeri ini.

Tulus Abadi,
Anggota Pengurus Harian YLKI, Peserta 14th World Congres Tobacco or Health, Mumbai, India.

(Tulisan ini pernah dimuat oleh Koran Jakarta, edisi Sabtu, 23 Mei 2009)

Tembakau dan Malnutrisi

Penyakit sosial yang bernama kemiskinan, hingga kini masih menjadi fakta yang tak terbantahkan di negeri ini. Menteri Sosial, Bachtiar Chamsah, menyebutkan tidak kurang dari 36,1 persen penduduk Indonesia kini hidup di bawah garis kemiskinan, bahkan 14,5 juta diantaranya berstatus sebagai fakir miskin. Terlepas sahih atau tidak data yang dilansir Mensos tersebut, kemiskinan sering dimaknai sebagai masyarakat yang berpenghasilan rendah, atau bahkan tidak berpenghasilan sama-sekali. Bank Dunia, misalnya, memberikan standar bahwa orang miskin adalah orang yang berpenghasilan kurang dari 2 US$ per hari.

Sah-sah saja kemiskinan dimaknai sebagai orang yang minim penghasilan. Namun demikian, fenomena kemiskinan seyogyanya dilihat dengan perspektif yang meluas dan kontekstual. Misalnya, benarkah mereka memang miskin atau dimiskinkan, atau, mereka hanya salah dalam mengalokasikan pendapatannya, sehingga menjadi miskin?

Karena itu, sangat relevan jika fenomena penyebab kemiskinan di Indonesia dikaitkan dengan perilaku masyarakat dalam mengonsumsi tembakau/rokok. Hal ini, karena, baik pada masyarakat miskin perdesaan maupun perkotaan, konsumsi tembakaunya amat tinggi. Berikut gambarannya.

Kini konsumsi rokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga dunia, setelah China dan India (semula nomor 5). Tidak heran jika lebih dari 60 juta orang membelanjakan uangnya untuk membeli rokok. Mereka rata-rata menghabiskan 11 batang rokok per hari. Secara nasional, belanja bulanan untuk rokok pada keluarga perokok menempati urutan terbesar kedua (9%) setelah beras, 12%. Lebih nggegirisi lagi, menurut Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) 2006, kelompok keluarga termiskin terbukti mempunyai proporsi belanja rokok yang lebih besar (12%) daripada kelompok terkaya yang hanya 7%. Data lebih konkrit menunjukkan, belanja bulanan rokok pada keluarga termiskin pada 2006 setara dengan 15 kali biaya pendidikan dan 9 kali biaya kesehatan. Dibandingkan dengan pengeluaran makanan bergizi, jumlah tersebut setara dengan 17 kali pengeluaran untuk membeli daging, 2 kali lipat untuk membeli ikan, dan 5 kali lipat untuk membeli telur dan susu.

Sebuah survei lain yang dilakukan selama 1999-2003 pada lebih dari 175.000 keluarga miskin di perkotaan di Indonesia menunjukkan, 3 dari 4 kepala keluarga (78,8%) adalah perokok aktif. Belanja mingguan untuk membeli rokok menempati peringkat tertinggi (22%), jauh lebih besar daripada untuk pengeluaran makanan pokok (beras), yang hanya 19%. Sementara pengeluaran untuk telur dan ikan masing-masing hanya 3% dan 4%.

Padahal, terkuak dengan jelas bahwa perilaku merokok kepala rumah tangga berhubungan secara bermakna dengan gizi buruk, yaitu prevalensi anak sangat kurus (severe wasting) 1%, berat badan sangat rendah (severe underweight) 6,3% dan anak sangat pendek (severe stanting) 7,0%. Belanja rokok telah menggeser kebutuhan terhadap makanan bergizi yang esensial untuk tumbuh kembang balita. Studi sejenis pada 2000-2003 pada lebih dari 360.000 rumah tangga miskin di perkotaan dan perdesaan membuktikan kematian bayi dan balita lebih tinggi pada keluarga yang orang tuanya merokok daripada yang tidak merokok.
Dengan begitu tingginya perilaku merokok pada rumah tangga miskin, maka risiko kematian populasi balita dari keluarga perokok berkisar antara 14% di perkotaan, dan 24% di perdesaan. Atau 1 dari 5 kematian balita berhubungan dengan perilaku merokok orang tuanya. Dengan angka kematian balita sebesar 162 ribu per tahun (Unicef 2006), maka konsumsi rokok pada keluarga miskin menyumbang 32.400 kematian setiap tahun atau hampir 90 kematian balita setiap hari.

Bagaimana keterkaitan konsumsi rokok dengan efektivitas dana Bantuan Langsung Tunai (BLT)?

Saat ini terdapat 19 juta kepala keluarga miskin penerima dana BLT. Dengan prevalensi perokok penduduk miskin laki-laki dewasa sebesar 63%, diperkirakan terdapat sekitar 2/3 adalah kepala keluarga perokok. Dengan kata lain, 12 juta kepala keluarga miskin menggunakan dana BLT untuk membeli rokok. Hasil Susenas 2006 menunjukkan rata-rata pengeluaran rokok pada keluarga perokok adalah sebesar Rp 117 ribu per bulan dan pada keluarga miskin sebesar Rp 52 ribu. Artinya, lebih dari separo dana BLT dihabiskan untuk membeli rokok!

***
Bersandar pada konfigurasi data dan fakta di atas, teramat gamblang, bahwa terdapat hubungan erat antara konsumsi tembakau, kemiskinan, dan bahkan malnutrisi. Fenomena ini jelas sangat ironis, dan paradoks. Masyarakat miskin, dengan income yang sangat terbatas, masih salah pula dalam membelanjakan pendapatannya. Jika fenomena ini terus dibiarkan, tanpa adanya sentuhan kebijakan yang konkrit dan menyeluruh, sangat boleh jadi wabah kemanusiaan ini akan mengalami eskalasi yang tak terbendung. Target Indonesia Sehat 2010 atau pencapaian MDG’s akan sangat musykil, mitos belaka.
Tetapi, kita tidak bisa begitu saja menyalahkan perilaku masyarakat miskin ini. Sebab, mereka hanyalah korban atas ketidakmengertian dan ketiadaan kebijakan yang melindunginya. Jadi, jika Pemerintah memang berniat mengentaskan mereka dari kungkungan kemiskinan, tidak ada cara yang paling strategis selain bagaimana Pemerintah memotong mata rantai ketergantungan masyarakat miskin terhadap tembakau. Sebaliknya, adalah tidak masuk akal kalau tembakau dijadikan instrumen untuk mengentaskan kemiskinan. Justru tembakaulah penyebab kemiskinan, malnutrisi dan lost generation! Efek jangka panjang terhadap ini semua adalah buruknya kualitas pembangunan sumber daya manusia : prestasi sekolah yang buruk, lemahnya kapasitas intelektual dan kemampuan kerja.
Peta jalan untuk melakukan perubahan tidaklah sulit. Naikkan saja cukai rokok secara signifikan. Saat ini cukai dan harga rokok di Indonesia terendah di dunia, setelah Kambodia. Cukai rokok kita hanya 38% dari harga retail, sementara rata-rata dunia sudah di atas 60%. Dengan cukai rendah, akibatnya rokok mudah diakses oleh siapa pun, terutama masyarakat miskin, anak-anak dan remaja. Iklan dan promosi rokok yang bergentayangan di semua lini, juga merupakan ketidaklaziman yang terus dipelihara. Rokok adalah produk adiktif, tanpa diiklankan pun akan diburu penggunannya. Lha, ini kok masih diiklankan dan dipromosikan secara masif pula? Indonesia adalah satu-satunya negara—setelah Zimbabwe, yang masih menayangkan iklan rokok di televisi. Selebihnya, larangan penjualan secara ketengan, dan peringatan kesehatan berupa gambar, juga menjadi poin kebijakan yang harus digulirkan.

Untuk menerobos peta jalan tersebut, Pemerintah Indonesia musti melakukan lompatan besar di bidang regulasi. Ratifikasi/aksesi Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) atau membuat RUU Pengendalian Dampak Tembakau bagi Kesehatan, adalah solusi yang paling logis, elegan, dan komprehensif. Kini FCTC telah menjadi hukum internasional, 164 negara telah meratifikasinya. Tak cukup alasan bagi Pemerintah untuk mendiamkan FCTC secara terus-menerus, karena Pemerintah Indonesia adalah “negara pihak” yang aktif dalam pembahasan FCTC, bahkan sebagai legal drafter. Jangan biarkan fenomena generasi yang hilang menjadi sebuah kenyataan, hanya karena pembiaran perilaku liar industri rokok!

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI, Delegasi Indonesia pada 14th World Congres Tobacco or Health, Mumbai-India, Maret 2009.
(Tulisan ini pernah dimuat oleh Suara Pembaruan, Kamis, 28 Mei 2008)

Lorong Gelap Pengendalian Tembakau

Bak sebuah gelombang tsunami, perang terhadap bahaya tembakau pada skala global tak bisa dibendung lagi. Produk adiktif ini telah dijadikan public enemy, bukan hanya oleh institusi negara, tetapi juga kalangan masyarakat sipil dunia. Wujud pernyataan perang itu, 164 negara kini telah meratifikasi/mengaksesi Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC). Pada konteks promotif, Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga menjadikan 31 Mei sebagai World No Tobacco Day atau Hari Tanpa Tembakau se-Dunia. Inilah prasasti, betapa pengendalian tembakau telah menjadi concern global.

Lalu, ketika komunitas dunia begitu getol mengurung produk yang mengandung 4.000 racun kimia--40 diantaranya karsinogenik, bagaimana dengan Pemerintah dan masyarakat Indonesia? Jika itu yang kita sandingkan, terdapat perbedaan yang melangit. Mau bukti?

Ketika para pemimpin dunia begitu bangga menyambangi kantor pusat WHO di Jenewa, Swiss untuk meratifikasi FCTC; Presiden Indonesia (SBY) sebaliknya, bangga meresmikan perluasan dan pembukaan pabrik rokok. Dibanggakan, karena industri rokok dipandang ampuh untuk mengentaskan kemiskinan. Sebuah pandangan yang salah-kaprah, bahkan sesat. Justru industri rokok penyebab utama kemiskinan struktural di Indonesia. Terbukti, mayoritas pengguna rokok di Indonesia adalah rumah tangga miskin. Mereka justru lebih banyak membelanjakan pendapatannya untuk konsumsi rokok (12,5%). Ayah dari rumah tangga miskin lebih memilih anaknya hengkang dari sekolah, plus membiarkan balitanya menderita gizi buruk (busung lapar) daripada harus cerai dengan kepulan asap nikotin.

Kiblat paradigma Menteri Kesehatan (Menkes) pun mengalami sesat pikir yang amat parah. Masak seorang Menkes mengatakan, “Wah, gimana ya...rokok memang memberikan cukai yang sangat besar...”. Atau, dalam suatu diskusi, Menkes juga melontarkan opini yang menggelikan, “Kalau rokok tidak boleh dijual ketengan, kasihan tukang ojeg, nanti tidak bisa beli rokok”. Sebuah opini yang tak elok meluncur dari mulut seorang Menkes. Kalau Menkes saja sok populis ngurusi cukai, lalu siapa lagi yang mengawal aspek kesehatannya? Pantas jika Menkes tidak memasukkan larangan merokok pada Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), yang gencar dikampanyekan.

Apalagi Fahmi Idris yang Menteri Perindustrian itu, kebenciannya terhadap FCTC dan segala bentuk regulasi pengendalian tembakau mungkin sudah menyundul ubun-ubun. Tak ada jurus yang acap dilontarkan oleh sang Menteri, selain bahwa pengendalian tembakau akan mematikan industri rokok cs. Padahal baik secara faktual maupun akademis, klaim kuno ini mudah dipatahkan. Misalnya, tanpa adanya ratifikasi FCTC pun nasib petani tembakau sudah kembang-kempis. Penyebabnya siapa lagi kalau bukan industri rokok, yang telah menjadikan posisi petani sebagai subordinat yang paling rendah. Petani tembakau tidak mempunyai posisi tawar sedikitpun saat berhadapan dengan industri rokok. Harga dan kualitas daun tembakau, 100 persen ditentukan oleh seorang grader industri rokok. Selain itu, industri rokok tetap bisa berproduksi selama dua tahun penuh, tanpa membeli tembakau milik petani. Sementara, bagi petani, “kiamat ekonomi” tak terhindarkan jika tembakaunya tak laku saat panen tiba. Wajar jika dua dari tiga petani tembakau ingin beralih profesi, misalnya menjadi petani padi atau bahkan pedagang (survei Lembaga Demografi UI).

Politisi Senayan pun sepertinya “masuk angin” untuk menyorongkan RUU Pengendalian Dampak Tembakau bagi Kesehatan. Benar, adalah suatu prestasi jika RUU ini akhirnya bertengger pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2009. Namun, terkait dengan usia produktif anggota DPR yang tinggal seumur jagung--sementara kini belum terbentuk Panitia Khusus, rasanya nasib RUU ini akan deadlock. Anggota DPR periode berikutnya? Ah, boleh jadi malah mendelegitimasi RUU hingga ke titik nadir, atas pesanan industri rokok, tentu. Patut diduga, kenapa DPR terlihat “malas” membahas RUU Pengendalian Dampak Tembakau, karena RUU ini tidak ‘bergizi’. “Wah, ngga ada olinya Mas, gimana mau dibahas...”, gumam salah seorang anggota DPR. Entah guyonan atau sungguhan, tetapi faktanya DPR malah membahas beberapa RUU yang nyaris tidak ada urgensinya, bahkan belum masuk ke dalam Prolegnas sekalipun.

Sikap dan perilaku sebagian besar masyarakat setali tiga uang dengan Pemerintah dan DPR. Masyarakat begitu mengelukan dan mendewakan industri rokok di segala aspek kehidupannya. Bahkan, opini budayawan sekelas W.S. Rendra sekalipun terlihat begitu “norak” pada produk adiktif ini. “Bahaya rokok itu ndak ada buktinya, takhayul...dan imperialis”, begitu kata Si Burung Merak saat menjadi saksi pada sidang gugatan Komisi Nasional Perlindungan Anak di Mahkamah Konstitusi.

Ibu Negara, Ani Yudhoyono, tahun lalu (2008) memang mempersilakan masyarakat sipil--yang terwadahi dalam Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, untuk merayakan World No Tobacco Day di Istana Negara. Saat memberikan sambutan, terlihat Ibu Negara begitu antusias meminta anak-anak Indonesia untuk tidak merokok dan tidak mempercayai isi iklannya. Tetapi, telisik punya telisik, ada “pesan khusus” dari oknum Istana, “Jangan bicara regulasi pengendalian tembakau, apalagi soal FCTC di depan Ibu Ani...”. Walah, wong inti persoalannya disitu kok.
Entah dengan bahasa dan cara apalagi untuk memberikan asupan fakta dan fenomena racun adiktif ini. Semua lini telah terbeli, tidak hanya secara ekonomi tetapi juga ideologi. Sementara permasalahan tembakau di Indonesia begitu menggawat. Kini manusia Indonesia yang mati oleh penyakit akibat rokok mencapai 1.172 orang per hari, atau 427.000 per tahun (WHO, 2008). Ini karena konsumsi rokok kita terus membubung tinggi, rangking ketiga besar di dunia, setelah China dan India (semula nomor lima). Tak kurang dari 265 milyar batang rokok habis dilahap oleh mulut masyarakat, yang mayoritas miskin. Pertumbuhan konsumsi rokok di kalangan remaja dan anak-anak pun tercepat di dunia, yakni 14,5 persen per tahun. Tetapi aneh bin ajaib, peta situasi semacam ini nyaris tidak membersitkan kengerian sedikit pun bagi Pemerintah. Industri rokok justru dijadikan primadona dan diberikan mandat menggenjot produksi setinggi mungkin, hingga 2015.

Hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan perlindungan dari negara atas bahaya tembakau, bak merasuk ke dalam lorong gelap yang tiada berujung. Segelap putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengandaskan gugatan legal standing YLKI dkk melawan Presiden RI dalam kasus FCTC (Perkara No. 204/Pdt.G./PN/JKt.Pst). Bergemingnya Pemerintah terhadap FCTC, adalah bentuk pembiaran yang paling telanjang terhadap warga negaranya. Apalagi Pemerintah Indonesia adalah “negara pihak” yang aktif dalam rangkaian pembahasan FCTC (sebagai legal drafter). Adalah hak warga negara untuk hidup sehat, tanpa terkontaminasi produk tembakau. Pembiaran inilah yang seharusnya dikualifikasi majelis hakim sebagai bentuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan Pemerintah, bukan malah sebaliknya. Nalar sehat macam apakah yang dijadikan pijakan jika industri racun yang amat adiktif ini justru dijadikan “maskot” untuk menyangga ekonomi bangsa?

Tulus Abadi,
Anggota Pengurus Harian YLKI, Delegasi Indonesia pada 14th World Congres Tobacco or Health, Mumbai, India

(Tulisan ini dimuat oleh Koran Tempo, edisi Sabtu, 30 Mei 2009)